"Tidak juga, tapi mau tidak mau akan juga keliling. Karena nanti makan apa" kata bapa Okto menyeringai.
Kereta gerobak bapa Okto sudah terlihat tua. Warnanya sudah menghitam menutup warna asli kayunya. Apalagi di bagian pegangan gerobak yang mungkin sudah terkena debu jalanan, asap knalpot atau mungkin di kotoran di tangan yang berkeringat.
Ternyata sudah lama bapa Okto berjualan kelapa. Katanya, dirinya telah menjadi penjual kelapa sejak 1982. Anak-anaknya ada 4 orang, dan dua diantaranya sudah bekerja dan berkeluarga.Istri satu.
Dari cerita bapa Okto, saya juga baru tahu, keuntungan dari penjual kelapa di Kupang bisa dianggap lumayan. Coba kita hitung. Jika isi keretanya adalah 80 buah dengan keuntungan 4 ribu per kelapa, maka benar sekitar 300 ribu dia bisa dapatkan sehari.
Cerita bapa Okto, buah kelapa didapatkannya atau dibeli dengah harga 1200 rupiah tapi dijual dengan harga 6000. Â Mengapa bisa sangat murah? Bapa Okto menceritakan bahwa dia membelinya di Baun, sebuah daerah subur sekitar 30 Km dari Kota Kupang.
Ke Baun, bapa Okto membawa anak-anak muda keluarganya yang dapat memanjat dan memetik kelapa. Jadi kelapa dipanjat dan dipetik sendiri.
"Biar kita bisa pilih kaka" kata bapa Okto, menjelaskan untungnya melakukan metoda tersebut.
Hanya, itu memang juga harus dihitung karena ada pengeluaran lain-lain juga.Â
Ada uang yang dikeluarkan sekedar untuk membeli rokok untuk anak-anak pemanjat itu, dan biaya atau harga sewa mobil pick up untuk memuat kelapa yang dibelinya dari Baun ke Kupang. Sehingga selisih keuntungan mungkin tidak sebesar yang dibayangkan.
Setelah kami berlima selesai meminum air kelapa dan memakan isi kelapa. Bapa Okto nampak bergegas pergi.
"Makasih ee...bapa Okto" kata saya, sambil dua lembar uang 20 ribu.