Sudah beberapa hari saya mengamati di media sosial bagaimana reaksi masyarakat terhadap kartu pra kerja, dan secara respon luar biasa, namun ada satu hal yang membuat saya mengernyitkan dahi, respon masyarakat tidak berbanding lurus dari harapan terhadap esensi kartu pra kerja tersebut.
Maklum, keadaan seperti saat ini yang force majeure tidak bisa disamakan dengan keadaan ideal sebelum bencana covid-19 ini terjadi.
Kartu pra kerja pada awalnya adalah "beasiswa pelatihan". Sebagai salah seorang instruktur yang sudah cukup lama melatih di Lembaga Pelatihan Kerja Pemerintah (BLK), sudah beberapa kali kami mendiskusikan tentang kartu pra kerja ini.
Pada awalnya sebelum covid-19 melanda, pemahamannya Kartu Pra Kerja seperti ini; calon peserta pelatihan atau masyarakat yang ingin berlatih akan diberikan kesempatan untuk bisa memilih pelatihan apa yang dia sukai dan ingin berlatih dimana. Modalnya adalah uang berupa kartu pra kerja ini.
Dahulu secara konvensional, BLK pemerintah akan menyiapkan pelatihan, fasilitas dll, lalu calon peserta tinggal datang, bawa diri saja, bahan disediakan dan pada akhir pelatihan akan diberikan sertifikat pelatihan.
Jadi penentunya adalah BLK sendiri, dia yang punya pelatihan, dia yang punya dana, namun di Kartu Pra Kerja, yang punya uang adalah calon peserta, sehingga dia bisa memilih mau berlatih dimana yang dia inginkan.
Jadi BLK harus perlu berbenah, minimal "marketing" untuk menggambarkan bahwa BLK lebih pantas dipilih daripada LPK lain, karena kelebihna fasilitas, tenaga pelatih yang berkompeten dan lain sebagainya.
Idealnya, jika anda serius ingin berlatih, anda tentu harus memilih yang terbaik kan?
Akan tetapi setelah covid-19 ini, ada pergeseran paradigma. Diskusi di medsos tentang kartu pra kerja ini bukan soal esensi mengenai pelatihan lagi, tetapi melihat kartu pra kerja sebagai insentif atau kebutuhan untuk hidup di masa yang sulit ini.
Jika perincian 3,5 juta yang akan diberikan perorang dengan 1 juta biaya pelatiham dan 2,5 juta insentif, maka fokusnya bukan di 1 juta namun di 2,5 juta, yang penting ada tambahan dana untuk biaya hidup, itu kesimpulan dari saya setelah melihat cara pandang warga tentang kartu pra kerja ini.
Apa cara pandang itu salah? Tentu tidak, masyarakat sekarang membutuhkan beras bukan skill, berbeda "sedikit" dengan di kondisi normal.
Pengalaman saya melatih di BLK pun demikian. Jika pemetaannya adalah yang akan berlatih adalah mantan pekerja yang di PHK yang dia butuhkan bukan skill baru, namun modal untuk berusaha, maka jangan heran, banyak yang akan berlatih dia akan bertanya, apakah akan diberikan modal peralatan atau usaha atau tidak?
Akan tetapi, sekarang situasi sangat berbeda. Harus diakui bahwa peminat kartu pra kerja, adalah orang yang di PHK dan juga adalah orang yang kesulitan untuk hidup, butuh uang untuk hidup---terhinalah orang yang tidak termasuk golongan ini namun ingin mendaftar. Maaf untuk perkataan saya ini.
Artinya apa? Saya lebih setuju, jika nilai insentifnya saja dinaikkan tanpa dipotong dengan biaya pelatihan---yang menurut beberapa pihak hanya menguntungkan perusahaan online yang ditengarai dimiliki oleh orang-orang yang sudah berada.
Lalu apakah akan dirubah konsep pendanaannya saja? Jika bisa, ya rubah saja. Jika tidak bisa naikan biaya Insentif dinaikan hingga 90 persen, dengan pelatihan hanya 10 persen.
Apakah ini dapat dilakukan? Jika semangat Gotong Royong yang dikatakan Jokowi dapat diterapkan, mulailah dari implementasi kartu pra kerja ini.
Semangat gotong royong bagi saya itu sederhana; Berjalan bersama-sama, yang kuat membantu yang lemah, yang lemah menjadi kuat dan membantu lagi yang lain.
Dalam implementasinya, adalah bagaimana caranya untuk membuat pelatihan menjadi lebih murah kurang dari 1 juta bahkan gratis. Ada 3 (tiga) cara atau ide yang saya tawarkan.
Pertama, mitra online seperti ruang guru memberikan pernyataan untuk memberikan subsidi kepada pelatihan kepada para peserta berupa cash back dan lain sebagainya, ini sebagai bentuk berpartisipasi dalam semangat gotong royong.Â
Apakah ini bisa? Tergantung para mitra pembelajaran online ini, saya berharap semoga bisa. Jika bisa akan sangat membantu.
Kedua, instuktur pemerintah dari BLK dapat melatih dari rumah, tapi perlu disediakan ruang untuk melatih secara online, karena selama ini memang lebih banyak lewat offline.
Saya bahkan memikirkan, misalnya jika ingin melatih misalnya tentang teknik furniture atau tukang kayu--bidang saya, Â dalam masa covid-19 ini diajarkan dahulu secara teori atau demo melalui video,sesudah masa WFH baru pemilik kartu pra kerja diajak untuk berlatih secara offline.
Ini sangat bisa dilakukan asal difasilitasi, apalagi jumlah instruktur BLK bisa mencapai ratusan orang dan tersebar di seluruh Indonesia. Ini adalah kekuatan yang bisa diberdayagunakan.
Ketiga, peserta kartu pra kerja dibolehkan untuk berlatih secara gratisan secara online di tempat lain, sesudah itu pemerintah dapat memberikan tes kompetensi untuk memastikan bahwa peserta sudah mempunyai keahlian yang diinginkan, ini menurut saya akan lebih murah.
Ide ini juga untuk mencegah bahwa pelatihan hanya berlangsung asal-asalan meski gratis, sehingga supaya lebih murah, biayanya difokuskan hanya kepada tes atau ujian.
Prinsip gotong royong harus diterapkan seperti ini. Â Perlu sentuhan yang berbeda, untuk membuat konsep kartu pra kerja ini lebih efektif, perbesar insentif, pelatihan jalan tapi dengan dana seminim mungkin demi kepentingan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H