Setelah itu  MH Syarifuddin  diangkat sebagai Ketua PN Padang Pariaman dan menjadi Ketua PN Baturaja pada 1999.
Pada 2003 MH Syarifuddin  dipindah ke Ibu Kota Jakarta dan dipercaya sebagai hakim di PN Jakarta Selatan. Dua tahun kemudian dia pindah ke Jawa Barat dengan menjadi  Wakil Ketua PN Bandung periode 2005-2006 dan kemudian menjadi Ketua PN Bandung pada 2006.Â
Selepas dari Bandung, ia ditunjuk sebagai hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Palembang dan  enam tahun menjabat sebagai Kepala Badan Pengawasan (Bawas) MA. Â
Karirnya semakin meroket setelah pada tahun 2013, Komisi III DPR menetapkannya menjadi hakim agung bersama tujuh kolega lainnya pada 23 Januari 2013. Ketua MA pun melantik MH Syarifuddin menjadi hakim agung pada 11 Maret 2013.
Sempat menjadi Ketua Kamar Pengawasan MA, pada 2016 doktor lulusan Universitas Parahiyangan ini resmi menjabat sebagai Wakil Ketua MA Bidang Yudisial berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 48/P Tahun 2016 tanggal 26 April 2016 tentang pengangkatan MH Syarifuddin untuk menjadi orang nomor dua di MA untuk periode 2016-2021.
PR Besar Mahkamah Agung di Bawah Kepemimpinan MH Syarifuddin, Jangan Korupsi!
Seperti diketahui, Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Serta membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum.
Sebagai lembaga yang mengatur, melaksanakan fungsi peradilan dan mengawasi, MA dibawah kepemimpinan MH Syarifuddin dituntut untuk menjadi lembaga peradilan yang  tidak berpihak pada isu pemberantasan korupsi.
Ini harus dijaga karena menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) berdasarkan survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dan ICW pada Oktober tahun lalu, MA mendapatkan kurang dari 70% dari sisi kepercayaan publik.
Paling aktual yang diingat publik adalah ketika  lembaga ini tercoreng wajahnya ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi sebagai tersangka Korupsi pada Desember lalu. Â
Nurhadi diduga menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 46 miliar, terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung Tahun 2011-2016.