Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Inikah Alasan Mengapa Yusril Ihza Mahendra Bilang Jurus PSBB Jokowi Akan "Tumpul"?

5 April 2020   20:06 Diperbarui: 5 April 2020   20:22 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi dan Yusril I Gambar : Kolase Tribunnews

Mantan pengacara Jokowi-Ma'ruf Amin pada musim Pilpres 2019 , Yusril Ihza Mahendra akhirnya ikut berbicara mengenai persoalan landasan hukum yang dipakai pemerintah menghadapi pandemi  virus corona atau covid-19.

Yusril yang juga adalah seorang Pakar Hukum Tatanegara  mengatakan bahwa jikalau Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan strategi landasan hukum Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk  mengatasi pandemi virus Corona, maka akan tidak maksimal, tidak memadai atau dalam kata lain  "tumpul".

"Ketiga Undang-Undang itu sangat tidak memadai untuk menghadapi wabah Corona ini. Tetapi Pemerintah tidak mau terbitkan Perppu," kata Yusril.

Apa fokus Yusril dari pernyataannya ini? Yusril terlihat lebih berkonsentrasi kepada bagaimana pemerintah akan memberikan sanksi hukum kepada para pelanggar PSBB, dan Yusril berpendapat bahwa landasan hukum yang digunakan tidak kuat untuk melakukan sanksi hukum yang diinginkan.

Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi ini lalu menyoroti tiga undang-undang yang dimiliki Indonesia yang digunakan oleh Jokowi.

Pertama, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Kedua, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. dan Ketiga, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

Dari ketiga undang-undang ini, menurut Yusril tidak ada satupun yang dapat secara tegas mengatus tentang sanksi kepada pembatasan sosial semacam ini.

Lalu apa yang dapat dilakukan oleh Jokowi? Bagi Yusril satu-satunya jawaban adalah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

"Soal sanksi, Permenkes memang tidak bisa disalahkan. Sanksi pidana misal, pelanggarnya dipenjara 1 tahun, atau dikurung 3 bulan, atau didenda Rp 1 miliar, itu hanya bisa diatur dalam UU. PP saja tidak bisa mengatur sanksi pidana, apalagi Permen (Peraturan Menteri Kesehatan -red). Nah, celakanya UU Karantina Kesehatan tidak mengatur masalah ini. Itu sebabnya sejak lebih sebulan yang lalu saya katakan sebaiknya Presiden terbitkan Perppu yang komprehensif untuk menghadapi Corona," tutur Yusril.

Lalu bagaimana dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 dan Peraturan Pemerintah (PP) tentang PSBB yang diterbitkan Jokowi?

Untuk ini, serupa dengan pendapatnya diatas, Yusril mengatakan bahwa dua peraturan itu tak bisa mengatur soal sanksi pidana. Bahkan meskipun diatur diluar seperti keharusan untuk bekerjasama dengan polisi sekalipun, namun kewenangan tersebut tidak diatur oleh undang-undang sehingga akan tidak efektif.  Bahkan maklumat kepolisian saja dianggap Yusril hanyalah seperti sebuah pengumuman.

"Dalam Permenkes diatur tentang keharusan daerah bekerjasama dengan aparat keamanan dalam hal ini polisi. Tetapi, apa yang menjadi kewenangan polisi juga tidak ada diatur dalam UU, kecuali diberlakukan karantina wilayah. Sekarang ini Kapolri sudah keluarkan maklumat, tetapi maklumat itu sejatinya adalah sebuah 'pengumuman' tentang sesuatu, bukan berisi norma hukum yang mengatur kewenangan, hak dan kewajiban, dan seterusnya," tutur Yusril.

Artinya, menurut Yusril, negara butuh aturan  baru untuk menegakkan disiplin masyarakat dalam PSBB, utamanya soal sanksi dan jawabannya adalah berbentuk Perppu.

Jokowi Akan Berhati-hati Menerbitkan Perppu

Jika kita telisik lebih jauh, dari segi hukum, dasar penerbitan Perppu biasanya  mengacu pada Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang".

Dikutip dari hukumonline, dikatakan bahwa Pasal 22 mengatur tentang hak presiden mengeluarkan Perppu jika terdapat "kegentingan memaksa", sedangkan Pasal 12 mengatur tentang kewenangan presiden untuk menetapkan "keadaan bahaya". Kedua pasal itu tidak dapat dipisahkan. Secara harfiah pun, kata "genting" artinya "berbahaya" dalam bahasa Melayu.

Atau dalam kata lain, Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 itu lebih genting dan amat terpaksa, sehingga tanpa menunggu syarat-syarat dalam suatu pembentukan UU, presiden berhak menetapkan Perppu sekaligus menyatakan suatu keadaan bahaya atau darurat.  Asas yang digunakan adalah "salus populi suprema lex" yang menempatkan keselamatan rakyat/kepentingan umum sebagai hukum tertinggi.

Jika melihat dasar hukum ini, rasanya Jokowi akan sangat hati-hati untuk menggunakan opsi dari Yusril Ihza Mahendra ini, jika melihat dari asas dasar dan peruntukkannya.

Jokowi rasanya akan  lebih memilih untuk menunggu terlebih dahulu efektifitas implementasi aparat keamanan kepada PP dan Permenkes PSBB, apalagi Permenkes PSBB baru diterbitkan hari ini.  Rasanya jikalau keadaan menjadi sangat memaksa, baru opsi dari Yusril akan menjadi pilihan bagi Jokowi.  

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun