Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pelajaran dari Blunder Pernyataan Yasonna Laoly tentang Tanjung Priok

23 Januari 2020   10:58 Diperbarui: 23 Januari 2020   11:50 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly memberikan keterangan pers soal pernyataannya yang dianggap menyinggung warga Tanjung Priok saat acara Resolusi Pemasyarakatan 2020 di Lapas Narkotika Kelas IIA Jakarta, di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Rabu (22/1/2020). Dalam pernyataannya Menkumham Yasonna H Laoly menyampaikan permohonan maaf atas perkataannya yang menyinggung warga Tanjung Priok. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj.(ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)

"Kemudian ternyata berkembang penafsiran yang berbeda di media massa dan publik luas sehingga saudara-saudara saya yang ada di Tanjung Priok merasa tersinggung, maka saya menyampaikan permohonan maaf," kata Yasonna di Kantor Kemenkumham, Jakarta, Rabu (22/1/2020).

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly akhirnya meminta maaf kepada warga Tanjung Priok yang marah besar dan melakukan demonstrasi merespon pernyataannya yang dianggap kontroversial.

Persoalan dimulai ketika Yasonna dianggap mengeluarkan pernyataan "menghina"  dalam acara 'Resolusi Pemasyarakatan 2020 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS)' di Lapas Narkotika Kelas IIA Jatinegara, Jakarta, Kamis (16/1/2020) lalu.

Ketika itu, Yasonna Laoly menilai bahwa kemiskinan merupakan sumber tindakan kriminal. Menurut Yasonna, semua pihak harus membantu menyelesaikan masalah tersebut.

Menteri yang telah menjabat untuk kali kedua ini sempat membandingkan antara kawasan Tanjung Priok Jakarta Utara dengan Menteng Jakarta Pusat.

Dalam perbandingannya, Yasona menyebut bahwa Tanjung Priok banyak melahirkan tindak kriminal karena tingkat perekonomian yang miskin. Sedangkan hal sebaliknya terjadi di kawasan permukiman Menteng.

Begini kutipan perkataan Yasona tersebut. 

"Yang membuat itu menjadi besar adalah penyakit sosial yang ada. Itu sebabnya kejahatan lebih banyak terjadi di daerah-daerah miskin. Slum areas (daerah kumuh), bukan di Menteng. Anak-anak Menteng tidak, tapi coba pergi ke Tanjung Priok. Di situ ada kriminal, lahir dari kemiskinan," sebut Yasonna.

Sebelum meminta maaf, Yasona sempat bersikeras bahwa penjelasannya itu adalah penjelasan ilmiah.

Yasonna juga bersikukuh pada pendapatnya, dengan beralasan bahwa dirinya adalah seorang kriminolog, sehingga apa yang disampaikan itu sesuai dengan kaidah keilmuannya.

Baik, menurut Yasona apa yang dia sampaikan adalah kebenaran, sebuah penjelasan ilmiah  namun ketika penyampaian itu kemasannya tidak dipersiapkan dengan baik, maka multitafsir akan terjadi, menyakiti pihak-pihak tertentu dan menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.

Persoalan yang dialami Yasona ini jelas adalah persoalan komunikasi, harus diakui,  tokoh atau pejabat publik seringkali lupa atau tidak mampu berkomunikasi kepada publik dengan baik.

Lalu apa yang dapat kita pelajari dari konflik ini terkhususnya berkaitan dengan komunikasi publik para pejabat publik kita? Paling tidak ada 3  (tiga) hal yang dapat dipelajari.

Pertama, komunikasi publik harus memikirkan etika. Konsepp etika ini sangatlah penting karena dalam konsep ini pemberi pesan dan penerima pesan akan memiliki batas dan dikontrol oleh etikanya sendiri.

Perlu adanya orientasi dan nilai-nilai yang disepakati bersama, di dalam komunikasi tersebut. Mengeluarkan pernyataan sebagai pejabat publik, tentu harus memikirkan sistim etika yang berlangsung di masyarakat.

Ketika itu dilanggar atau dianggap angina lalu, karena konten pesan dianggap lebih penting, maka yang akan terjadi adalah konflik, karena tanpa etika, komunikasi terjebak dalam benar dan salah, menang dan kalah, seperti yang terjadi dalam kasus ini.

Kedua, pejabat publik harus hati-hati memilih kata dan bahasa yang digunakan.  Di arena publik, hal ini amatlah penting.

Menggunakan kata kemiskinan untuk Tanjung Priok ditambah kata-kata yang sarkas seperti pelacur dan preman untuk memberi identitas tambahan tentu amat menyakiti.

Harus diakui, masyarakat kita masih belum siap menerima "keterusterangan" seperti ini. Contohnya, kata "miskin" yang lebih enak diperdengarkan  sebagai "kurang sejahtera" dan sebagainya.

Apalagi dengan pendengar yang sangat beragam, maka kesopansantunan yang berkaitan dengan pemilihan kata, membuat sebuah pesan bisa diterima dengan baik oleh pendengarnya.

Ketiga, perlu dipikirkan dampak yang ditimbulkan. Pejabat publik perlu sekali hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan.  Alasannya karena pejabat publik adalah pejabat yang paling disorot dan layak menjadi sasaran kritik. Dampaknya akan besar jika salah menyampaikan sesuatu.

Sebenarnya dalam kasus ini, jika ini adalah sebuah materi, Yasona perlu berdiskusi dulu dengan tim ahlinya sehingga pesan yang penting seperti ini tidak disampaikan dengan hal yang salah, sekaligus dapat membantu ketika ada kesan negatif dari sebuah pernyataan publik  dengan memberikan klarifikasi.

Sekali lagi, isi pesan yang dianggap benar namun tidak memperhatikan metode penyampaian akan menimbulkan persoalan.

Isi pesan itu bisa benar dan penting, tetapi cara penyampaian yang salah tentu akan menimbulkan reaksi yang beragam.

Pejabat publik harus jeli dan seksama memperhatikan hal-hal ini dalam komunikasinya, karena kalau tidak selain menimbulkan kegaduhan, peribahasa mulutmu harimaumu benar-benar terjadi dalam blunder komunikasi yang dilakukan.

Referensi : 1 -2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun