Kasus suap Harun Masiku ini memang belum dibedah lebih dalam, karena Harun masih belum menyerahkan diri. Namun, kemungkinan-kemungkinan bahwa Wahyu tidak sendirian melakukan ini dari balik gedung KPU seperti yang disentil Johan amat mungkin terjadi.
Salah satu alasan yang dapat dikemukakan adalah KPU memiliki komisoner yang jumlahnya tak banyak dengan "kerjaan" yang sedikit, sesudah perhelatan pilkada dan pileg selesai. Sehingga relasi antara para komisioner seharusnya lebih intens dan lebih terbuka.
Di dalam situasi tersebut, kerja kelompok lebih menguntungkan daripada kerja sendirian apalagi menyalahi hukum, amat beresiko. Ini hanya asumsi, seperti yang dikatakan Johan, masih perlu ditunggu.
Kedua, soal modus operandi baru Korupsi yang dilakukan. Johan yang memang mengetahui kasus per kasus saat masih di KPK seperti "memuji" KPU karena mampu menemukan modus operandi baru dalam korupsi yang terjadi.
"Ternyata modus operandinya ini baru nih Pak Arief. Kalau dulu komisionernya itu kan bermain di pengadaan barang dan jasa. Ternyata ada modus baru. Baru atau udah lama baru ketahuan sekarang saya tidak tahu," kata Johan.
Korupsi pengadaan barang dan jasa yang dimaksud oleh Johan, salah satunya adalah yang dilakukan oleh Komisioner KPU Mulyana Wira Kusumah yang ditangkap KPK pada April 2005.
Saat itu Mulyana, ditangkap dengan barang bukti uang Rp 150 juta, terlibat dalam kasus penyuapan terhadap pemeriksa BPK terkait pengadaan barang dan jasa di KPU.
Sebelum dan sesudah itu, korupsi KPU memang dominan di bidang itu. Komisioner KPU Rusadi Kantaprawira ditangkap KPK pada Juli 2005, karena terlibat dalam kasus pengadaan tinta Pemilu 2004.
Begitu juga Komisioner KPU Daan Dimara yang ditangkap KPK pada Februari 2006, karena terlibat dalam kasus pengadaan segel sampul surat suara Pemilu 2004.
Sedangkan yang sedikit berbeda dilakukan oleh Ketua KPU 2001-2005 Nazaruddin Sjamsuddin yang ditangkap oleh KPK pada Mei 2005, karena terlibat kasus aliran dana taktis KPU senilai Rp 20 miliar.
***