Pemimpin besar dikenal dengan keputusan besar, meskipun keputusan itu tidak mungkin menyenangkan semua orang.
Dianggap amatiran, silahkan. Tetapi, hanya yang amatiran yang berani mengambil resiko meningkatkan dana infrastruktur untuk kawasan Indonesia Timur, meski diprediksi akan kehilangan suara dari bara, dianggap terlalu boros dan sedihnya dianggap memiliki paham komunis alias PKI. Sedih.
Sesekali datang ke timur Indonesia om, lihat wajah rakyat NTT yang tersenyum ketika melihat bendungan-bendungan dibangun dengan masif di era amatiran ini, mungkin rakyat baru mendapatkan kesejahteraan sesudah yang amatir itu lengser, tetapi kebahagiaan itu soal keputusan baik pak Fadli, bukan dari kritik terus menerus tanpa henti.Â
Optimisme yang sama yang harus ditanamkan ketika ibu kota ini pindah, demi Indonesia yang  semakin sejahtera. Amin.
Soal dianggap kurang kajian. Siap pak Fadli, jika kajian itu adalah soal menghitung untung rugi, mungkin penjelasan detail dari Kepala Bapennas, Bambang Brodjonegoro masih kurang jelas, mari bertanya, mari berdiskusi. Â Hitungannya memang lebih sulit dari klaim sana sini yang berlebihan, bahkan lebih sulit dari menarik garis lurus dan mengatakan rudal china akan menghancurkan Kalimantan dari Beijing sana.
Terakhir, soal wangsit lagi, gaib. Hidup itu terkadang tidak seperti yang kita rencanakan. Kekuatan kita tidak mampu mengatur kehidupan ini. Jika bicara bangsa Indonesia, apakah ada yang berani memastikan bahwa bangsa ini akan bertahan selama 74 tahun om? Tidak seorangpun bisa. Gaib kan?
Ah, begitu saja. Kita punya malam yang sama di Indonesia. Mari sudah kita beristirahat, semoga dapat wangsit om Fadli.Â
Sumber : 1 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H