"Bapak dan ibu memulai sesuatu yang baru. Di Jakarta ada 2.927 RW yang berkumpul hari ini hanya 22 RW. Jumlahnya masih kecil, tapi jangan remehkan jumlah yang kecil. Jumlah yang berkumpul di sini adalah yang pertama untuk memulai gerakan baru untuk mengelola sampah di Ibukota," kata Anies dalam dalam keterangan tertulisnya Dinas Lingkungan Hidup DKI , Sabtu (24/8).
Setelah sempat dibanding-bandingkan dengan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini soal pengelolaan sampah, Gubernur DKI Jakarta membuat terobosan dengan membuat program baru untuk mengatasi permasalahan sampah di Jakarta.
Nama program baru tersebut bernama Samtama atau kepanjangan dari "Sampah Tanggung Jawab Bersama". Â
Ketika mensosialisasikan  program ini kepada 22 RW yang ada sebagai pioneer awal, dalam keterangan tertulisnya di Dinas Lingkungan Hidup DKI , Sabtu (24/8) Anies mengatakan bahwa sebelum mengelola sampah masyarakat harus mampu mengubah pola pikir terlebih dahulu.
Bagi Anies, Â pengelolaan sampah perlu perubahan pola pikir masyarakat, bukan sekadar mengirim sampah ke TPST Bantargebang. Perubahan pola pikir yang diharapkan Anies mampu mengubah perilaku warga dalam mengelola sampah.
Oleh karena itu, menurut Anies perubahan pikir akan mampu mendorong masyarakat untuk melakukan  gerakan masyarakat untuk mengolah sampah secara mandiri, inilah inti dari Samtama yang dimaksudkan oleh Anies.
Tanpa mengurangi apresiasi terhadap Anies yang bisa dibilang kreatif dalam memunculkan program maupun ornament baru, pertanyaannya adalah apakah Samtama ini akan efektif? Pendapat saya dalam jangka panjang mungkin saja akan efektif, namun melihat dari urgensinya langkah dalam bahasa "mengubah pola pikir" terasa amat lambat dan terlalu teoritis.
Mengapa demikian? Persoalan sampah di Jakarta perlu langkah cepat dan tangkas, melihat dari kondisi sampah di Jakarta yang dapat dikatakan darurat.
Bayangkan setiap hari, sebanyak 7.500 ton sampah Jakarta berakhir di tempat diterima pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, padahal TPST tersebut  hanya cukup menampung 10 juta ton sampah lagi dari kapasitas maksimal 49 juta ton yang dapat ditampung, artinya, diprediksi pada tahun 2021, TPST Bantargebang tidak bisa digunakan lagi.Â
Tidak ada waktu untuk menunggu pola pikir masyarakat berubah terlebih dahulu, Â harus dicarikan jalan keluar yang cepat.
Pada Juli lalu, Organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai DKI Jakarta masih darurat sampah, salah satunya karena Walhi menilai Pemprov DKI belum memiliki kebijakan yang mampu membatasi timbulan sampah.
"Jakarta masih dalam darurat sampah karena masih belum ada kebijakan-kebijakan yang mampu belum membatasi timbulnya sampah," kata Direktur Eksekutif Walhi Tubagus Soleh Ahmadi.
Setiap tahun DKI Jakarta menghasilkan 2,5 juta ton sampah, sehingga diperlukannya perubahan secepatnya oleh pemerintah bukan sekedar menunggu masyarakat untuk mandiri.
Sambil menunggu masyarakat terus bergerak  mandiri, Anies perlu memastikan  agar beberapa program yang sedang berjalan dapat segera komplit pelaksanaannya. Seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di TPST Bantar Gebang yang sedang dalam proses finalisasi. PLTSa yang berada dalam  lahan 7. 000 meter persegi nantinya ini mampu membakar semua jenis sampah hingga 50 ton per hari dan dapat menghasilkan listrik hingga 400 kilo watt (Kw). Cukup signifikan dalam pengelolaan sampah Jakarta.
Berikutnya, memastikan 1600 bank sampah yang dimiliki di DKI Jakarta dapat maksimal penggunaannya . Â Mungkin perlu ditambah karena jumlah bank sampah ini dianggap belum ideal jika dibandingkan jumlah Rukun Warga yang ada di Jakarta, yaitu 2700 RW.
Sekarang Pemprov DKI sedang merencanakan pembangunan ITF [intermediate treatment facility] , sebuah fasilitas baru untuk mengelola sampah, yang sedang dalam pengerjaan alias belum rampung.
Terakhir, memastikan bahwa peraturan penggunaan kantong sampah plastik dapat berjalan baik, selain masyarakat, Anies juga harus memastikan produsen plastik diberikan ruang yang cukup atau kapasitas untuk  mampu mengolah kembali produknya.
Sebagai informasi, di Jakarta, sumber sampah paling banyak berasal dari pemukiman sebanyak 60 persen, entitas bisnis sebanyak 29 persen dan fasilitas umum 11 persen.
Sekali lagi, "Samtama" adalah kreativitas, akan tetapi perlu lebih dari sekedar itu untuk memastikan bahwa dampak dari sampah yang akan berpengaruh terhadap keanekaragaman hayati, kualitas air tanah, pemanasan global, dan kesehatan masyarakat dapat berkurang di Ibu Kota Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H