Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tangisan Jokowi, Papua, dan Video Ustaz Somad

19 Agustus 2019   17:44 Diperbarui: 22 Agustus 2019   04:29 813
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya lahir di tahun 80-an, menikmati sekali ketika lagu Rayuan Kelapa diperdengarkan setelah stasiun TVRI selesai tayang, saya lupa, sekitar jam 10 malam atau jam 11 malam.

Di hari-hari tertentu, ada pewayangan di hampir tengah malam di stasiun tersebut, meski berasal dari  timur dan tidak terlalu memahaminya saya ikut menikmati. Saya pikir itulah Indonesia. Kita berbeda tetapi kita saling memahami.

Di waktu SD, saya pertama kali dikirimi kartu pos, kartu ucapan sebenarnya, dari teman SD. Kartu ucapan Natal, padahal kita satu sekolah dan rumah kita tidak terlalu berjauhan. Saya senang sekali, gambarnya pohon natal.

Untuk membalasnya, waktu lebaran saya ke rumahnya, ah, kue kacangnya enak sekali. Sampai sekarang saya masih mengingatnya. Oh iya, namanya Rizal, turunan Sulawesi, entah dimana dia sekarang.

Mengapa saya teringat Rizal, semangat Jokowi mengingatkannya kembali akan dirinya. Ketika Jokowi mengatakan bahwa meski berbeda kita adalah satu, ditengah perbedaan kita harus tetap kuat dan bersatu. Sepertinya hanyalah nostalgia semata. Hal yang kita mungkin nikmati sudah lama sekali.

Peristiwa rusuh Papua hari ini membuat saya menangis. Dimulai dari perkataan rasis pada sekelompok mahasiswa di sebuah daerah di Surabaya yang merambat hingga ke Malang. Respon kemudian timbul dari Papua, ada protes dan ketidakpuasan disana, ada sakit hati merasa bukan bagian dari Indonesia ini yang sebenarnya adalah satu.

Suara bergetar dari Gubernur Jatim, Kofifah Parawangsa yang meminta maaf kepada mahasiswa Papua adalah ungkapan anak bangsa yang tidak mau bangsa ini terpecah belah. Saya merasakan apa yang dirasakan oleh Kofifah, meski ada penyesalan mengapa ormas-ormas tertentu harus berlaku rasis pada mahasiswa Papua.

Ceritanya memang sempat bercabang, konon memang ada mahasiswa yang adalah pejuang hak-hak kemerdekaan Papua, tetapi tidak semua mahasiwa Papua demikian, apalagi selama mereka masih adalah warga Indonesia, mereka dan kita adalah saudara sebangsa setanah air.

Surabaya adalah kota yang Indah dan ramah. Beberapa kali saya kesana, menikmati bebek gorengnya yang sedap sekali, warganya adalah para pejuang kemerdekaan, 10 November terjadi di Surabaya, nasionalisme tidak usah dipertanyakan.

Akan tetapi inilah Indonesia sekarang, Indonesia yang mulai terkotak-kotakan, Indonesia yang masih rentan untuk dipecah belah oleh para oknum-oknum tertentu yang mungkin tidak pernah merasakan bagaimana Indonesia seutuhnya. 

Sedih sekali, jikalau peristiwa Papua ini harus berdekatan sekali dengan kontroversi video Ustaz Abdul Somad. Ada apa dengan Indonesia?

Di Kupang, tempat saya tinggal, bunyi adzan hampir beriring waktunya dengan lonceng gereja, mimbar-mimbar gereja dan masjid dipercaya diisi dengan penggalian menemukan kebaikan Tuhan agar umat dapat berelasi dengan baik dengan sesama.  

Tanpa harus menilai lebih jauh dari pandang iman saya terhadap apa yang dikatakan UAS, kebencian harus jauh dari mimbar agama, kasih akan sesama harus menjadi pandu.

Dalam tulisan saya berjudul Gereja Minggu dan Gulai Hasan Somad, saya bercerita indahnya sesudah saya habis kebaktian di Gereja bertamu ke rumahnya Aba Hasan yang berpeci hitam untuk menikmati gulai kambing yang sedap sekali masakan istri cantiknya yang berhijab.

Tak ada kebencian di sana, tak ada tanda tanya yang besar tentang iman orang lain, yang tersedia adalah gulai kambing yang disantap di meja makan yang sama sambil saling berbincang dan bersenda gurau.

Mungkin sekarang Jokowi sedang menangis, meski di hati kecilnya saja. Mimpi besarnya untuk Indonesia yang dia sering kobar-kobarkan dalam pidatonya , mendapat cobaan. Akan tetapi yakinlah Jokowi di balik sebuah peristiwa buruk, tetap akan ada hal baik di dalamnya.

Kesempatan ini adalah kesempatan bagi Jokowi, saya dan mungkin anda untuk kembali melihat dan merenungkan Indonesia dari perspektif terindah dari yang kita pernah ingat.

Saya mengingat Jimi teman dari Biak, saya juga mengingat Kiki teman dari Aceh, Adi teman dari Gorontalo dan Fadli teman dari Surabaya  ketika kami satu asrama saat belajar di Bandung.

Kita pernah satu meja makan bersama, Jimi dengan lelucon mop Papuanya yang menghibur kami ketika Kiki sedang asyik makan langsung menggunakan tangan. Mereka bersahabat karib.

Saya dan Adi dari Gorontalo sekamar. Saya sering mengingatkan Adi untuk sholat, sebaliknya di hari minggu, hari termalas saya, Adi akan mengingatkan untuk ke gereja.

Jika kita mencintai Indonesia, kita bukan lagi Arnold, bukan pace Jimi, bukan Gus Fadly, kita ini sama-sama anak bangsa, bangsa yang terlalu indah untuk dilukai dengan hal-hal seperti ini.

Damailah Indonesiaku Tercinta...tears..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun