Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Inikah Partai yang Dikatakan Jokowi Tak Setuju Gerindra Gabung Koalisi?

18 Agustus 2019   17:07 Diperbarui: 18 Agustus 2019   17:16 2538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu alasan mengapa Gerindra belum juga dipastikan masuk ke dalam Koalisi Indonesia Kerja untuk mempersipakan pemerintahan Jokowi -- Ma'ruf Amin mulai tersingkap jelas. Kabarnya,  Jokowi dan partai pendukung belum sepakat Gerindra masuk ke dalam koalisi.

Halitu dikatakan sendiri oleh Jokowi, dalam sbeuah wawancara, Jokowo mengatakan bahwa selain belum ada pertemuan khusus, para parrtai juga belum satu suaara untuk menambah personil dalam koalisi Jokowi.

"Yang jelas sampai saat ini kita belum bertemu dengan seluruh koalisi untuk berbicara mengenai tambah atau tidaknya partai baru di koalisi kita. Belum, belum sampai ke sana," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (15/8).

"Ada yang setuju ada yang tidak setuju, biasa. Inilah yang perlu diorkestrasi agar suaranya sama kalau ya, ya, kalau tidak ya tidak, gitu," tambah Jokowi.

Siapa Partai yang Dimaksud oleh Jokowi?

Jokowi juga enggan untuk menyebut partai mana yang setuju atau tak setuju Gerindra bergabung dalam koalisi. Sebagai informasi partai pendukung Jokowi selama ini terdiri dari 10 partai antara lain, PDI Perjuangan, Partai Golkar, PKB, Partai NasDem, PPP, PSI, Perindo, Hanura, PKPI, dan PPP.

Akan tetapi jika kita mau menganalisa, maka paling tidak dapat dimulai dair pendekatan sebagai berikut, dengan membagi dukungan partai menjadi tiga bagian sesudah Pilpres kemarin.

Pertama, dukungan dari Partai yang memiliki dukungan elektoral yang signifikan berdasarkan perolehan kursi di legislatif. Di bagian ini kita dapat menyebut PDIP, Golkar dan Nasdem. Kedua, dukungan dari partai yang lolos elektoral legislatif namun tidak sebanyak tiga partai yagn disebut di atas, yakni PKB dan PPP. Ketiga, baru partai pendukung yang tidak lolos yaikni PSI, Perindo, Hanura, PKPI dan PPP.

Dari pemetaan ini, bentuk komunikasi yang nampak sebagai respons terhadap sinyal bergabungnya Gerindra tentu saja berbeda. Kelompok ketiga nampak lebih sadar diri dengan diam saja melihat sinyal begabungnya Gerindra.

Kelompok kedua, meskipun bersuara namun seperti berada di posisi mendukung saja apapun keputusan Jokowi, sedangkan kelompok ketiga nampak jelas memberikan masukan-masukan tajam terhadap rencana bergabungnya Gerindra, meski tidak jelas menolak.

Hal ini menjadi wajar, karena dalam sistim presidensial-multipartai, bentuk koalisi di titik ini dipastikan akan berubah. Proses koalisi bahkan dapat dikatakan seringkali dibangun di atas pondasi pragmatism. Kepopuleran sebuah partai sebelum pilpres tidak akan cukup mempengaruhi fragmentasi politik hasil Pemilu 2019, jikalah tidak linera dengan electoral vote yang diperoleh.

Disinilah electoral vote, terutama kepastian kursi yang diperoleh masing-masing partai menjadi alat menentukan tawar menawar politik. Jika benar demikian, maka publik pasti akan dipertotonkan hal-hal seperti yang terjadi sekarang. Drama penjajakan koalisi akan begitu lama terjalin dengan manuver zig-zag dari elit-elit partai.

Kembali ke pertanyaan awal, partai mana yang tidak mendukung bergabungnya Gerindra? Dari pemetaan tersebut, maka tertinggal tiga partai saja yang dapat memberikan suara "perlawanan" terhadap manuver Jokowi ini, yakni Golkar, Nasdem dan mungkin saja PDIP.

Gokar melalui Jusuf Kalla bahkan sebelum pertemuan Teuku Umar- Kertanegera terjadi sudah mewanti-wanti agar rencana bergabungnya Partai Gerindra ke kubu Jokowi-Ma'ruf harus mendapat persetujuan dari partai koalisi yang mengusung pasangan tersebut memenangkan pilpres 2019.

"Karena misalnya kalu mau kawin kan harus ada persetujuan yang mau kawin dan juga keluarga dekat, nah anggaplah partai (koalisi) itu keluarga dekat. Kalau keluarga tidak setuju, ya susah juga anda kawin" kata JK.

Selain Golkar, partai yang cukup tajam menyatakan kesetujuan atas bergabungnya adalah Nasdem. Partai Surya Paloh ini, bahkan terang-terangan dengan mengatakan bahwa Gerindra tidak pernah diajak Jokowi. Seperti yang diutarakan Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate.

Plate mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak pernah mengajak Partai Gerindra bergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja (KIK) dan kabinet periode 2019-2024. Ajakan Jokowi kepada Gerindra, menurut Plate sebatas bersama-sama membangun negara seusai Pilpres 2019.

"Jokowi tidak pernah itu mengajak secara langsung mereka (oposisi) ke dalam kabinet. Maksud Jokowi ialah mari bersatu untuk membangun negara. Jangan dianggap bag-bagi kursi di kabinet," ujar Johnny  di Jakarta, Jumat (9/8).

Bahkan dua hari lalu, Nasdem melalui Ketua DPP, Irma Suryani mengatakan bahwa Gerindra mempunyai  maksud terselubung di balik pernyataan mendukung Kabinet Zaken demi mendapatkan kursi menteri.

"Usul agar jokowi membentuk kabinet zaken, tentu tidak semata-mata bicara kualitas menteri yang dianggap kurang profesional, tetapi lebih kepada usulan agar ada ruang yang dapat diberikan untuk partai-partai oposisi yang merapat agar bisa tetap dapat jatah. Bagaimana caranya? Tentu dengan menyodorkan calon menteri dari para profesional dan akademisi yang sebenarnya adalah juga merupakan kader simpatisan mereka," kata Irma lugas, Jumat (16/8/2019).

Lalu bagaimana PDIP? Sinyal bahwa PDIP memang belum bulat untuk mengajak sudah tampak saat Kongres V PDIP di Bali.

Pernyataan Megawati yang meminta agar PDIP memperoleh kursi terbanyak, dapat dibaca sebagai himbauan agar meski Gerindra diajak Jokowi untuk bergabung, PDIP tetap harus mendapat jatah menteri yang banyak dan terbanyak.

Simbolitas tentang kursi menteri yang banyak tidak lepas dari persiapan untuk kontestasi di 2024, PDIP harus memastikan itu terjadi meski pada akhirnya harus merelakan Gerindra untuk tidak bergabung ke koalisi. Meski kemungkinan ini amat kecil,tetapi apapun bsia terjadi.

Di tengah realitis politik yang seperti menghimpit ini, Jokowi harus menemukan cara untuk merawat koalisi ini, dengan melakukan lobi dan kompromi politik yang dapat membuat keinginannya mendapatkan dukungan koalisi yang kuat di parlemen dapat tercapai, sekaligus komposisi kabinet yang kuat.

Kita tunggu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun