Jokowi juga dikatakan Eko mengenakan busana dari daerah asal Fahri Hamzah karena ingin menunjukkan visi pembangunan yang Indonesia sentris. Jokowi ingin menunjukkan kekayaan budaya Indonesia.
"Ini juga diplomasi budaya, karena pidato ini juga disorot dunia. Presiden cukup jeli, Jadi kalau melihat rentetannya, ini memang bukan simbolisasi pasca-Pemilu saja," kata Eko.
Sebagai tokoh politik sah-sah saja, Fahri Hamzah berpendapat demikian, akan tetapi menurut saya dalam semangat rekonsiliasi dan persatuan menyambut HUT Kemerdekaan RI, komentar Fahri terdengar bising di telinga atau tidak tepat.
Kata-kata di Sidang Tahunan tersebut yang diucapJokowi yang menyinggung tentang Pancasila, persatuan dan bersama-sama membangun bangsa, sepertinya sulit sekali dimengerti oleh Fahri dan melihat ini dari sisi politik semata, yang bisa ditafsirkan secara beragam.Â
Fahri nampaknya perlu belajar dari Jokowi.
Setuju bahwa Jokowi memang sedang melakukan diplomasi budaya, Â dan agak terlalu belebihan menganggap acara kenegaraan di Sidang Tahunan MPR ini disamakan dengan pakaian adat yang dikenakan oleh Jokowi di acara Kongres PDIP yang memang diselenggarakan di Bali.
Dalam sidang tersebut, Jokowi mengatakan perbedaan adalah sebuah keniscayaan, tetapi bukan alasan bagi kita untuk saling menghancurkan. Jika perbedaan itu kita kelola dalam satu visi besar. Maka menjadi kekuatan untuk mencapai Indonesia Maju.
Sebagai anggota DPR, Fahri mestinya menyambut  keinginan luhur  Jokowi untuk melakukan itu, tanpa menghubungkan dan mundur ke belakang dengan kondisi waktu persaingan di Pilpres kemarin.Â
Fahri perlu belajar untuk dapat melakukan tindakan nyata sehingga politik identitas yang dosisnya meninggi pada Pilpres kemarin semakin berkurang demi kebaikan bangsa. Penggunaan politik identitas dalam hajatan elektoral kita dapat dianggap salah satu penyebab cederanya ranrai persatuan.
Menganggap ada pengotak-kotakan sesudah pilpres dengan menilai sesuatu dari kacamata politik identitas akan membuat narasi emosionalitas yang dibalut dengan SARA akan terpelihara terus dan membuat narasi rasionalitas menjadi terpenjara.Â
Kondisi ini tentu tidak kita inginkan sebagai bangsa, jika ingin maju bersama.