"Jangankan kejahatan yang canggih, kejahatan yang sederhana saja jika tidak bisa dibuktikan secara layak saja, ya tidak bisa" Prof. Edward Omar Syarief Hiariej dalam sidang MK.Â
Dalam sidang gugatan hasil Pilpres di Mahkamah Konstitusi yang berlangsung kemarin, Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf Amin menghadirkan empat orang saksi yang terdiri dari dua saksi fakta dan dua saksi ahli pada sidang gugatan.
Dua saksi fakta tersebut bernama Candra Irawan dan Anas Nashikin. Candra adalah anggota dari saksi yang disiapkan tim kampanye nasional pasangan petahana saat proses rekapitulasi suara tingkat nasional di Kantor KPU. Sedangkan, Anas merupakan Panitia Pelaksana training of trainer bagi seluruh saksi Jokowi-Ma'ruf.
Untuk kebutuhan untuk saksi ahli, pihak Tim Hukum Jokowi-Ma'ruf Amin menghadirkan Prof. Edward Omar Syarief Hiariej yang kerap dipanggil "Eddy" dan Dr. Heru Widodo. Keduanya dikenal juga sebagai akademisi. Prof Eddy adalah ahli hukum Universitas Gajah Mada (UGM) sedangkan doktor Heru Widodo adalah ahli hukum dari Universitas Padjadjaran (Unpad).
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap saksi yang lain, saya pikir panggung MK kemarin menjadi milik dari Prof. Eddy. Jika harus meminjam istilah dari tim hukum Prabowo-Sandi, maka Prof. Eddy dapat dikatakan adalah saksi "Wow" yang dimiliki oleh tim hukum Jokowi-Ma'ruf.
Prof. Eddy mampu menyajikan makalah yang komprehensif, lalu memberikan argumen hukum yang kuat terhadap pertanyaan tim hukum Prabowo-Ma'ruf yang diwakili oleh Bambang Widjojanto dan Denny Indrayana,.
Bahkan ketika salah satu anggota tim hukum Prabowo-Sandiaga Uno, Teuku Nasrullah, memilih tidak melemparkan pertanyaan dan menganggap pria yang akrab dipanggil Eddy itu merupakan "kuasa hukum tim terselubung" dari tim hukum Jokowi-Ma'ruf Amin.
"Kalau ada perbedaan pendapat cukup sampai di kerongkongan, jangan sampai ke hati" ujar Prof. Eddy mengutip perkataan Gus Dur untuk menanggapi perkataan Teuku Nasrullah. Telak.
Mendapat Gelar Guru Besar di Usia 37 Tahun
Nama Eddy Hiariej, sebenarnya sudah cukup dikenal dalam kalangan peradilan hukum. Bukan saja karena kompetensinya, tetapi jejak akademisnya memang istimewa.
Eddy mendapatkan gelar profesornya dan menjadi Guru Besar Hukum Pidana di usia yang masih sangat muda, yakni 37 tahun dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dalam sebuah wawancara, Eddy lantas menjelaskan bahwa gelar profesor dapat ia raih di usia muda karena kemampuannya menyelesaikan kuliah program doktoral yang ditempuhnya dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan kebanyakan mahasiswa lain.