"Saya mengimbau pada elite BPN maupun TKN yang tidak mengetahui hal-hal yang bisa dan mungkin terjadi sebaiknya menahan diri untuk tidak memberikan komentar-komentar yang membuat suasana dan situasi tidak kondusif," ujar Waketum Gerindra Ahmad Sufmi Dasco, Kamis (6/6/2019).
Dasco terlihat geram karena banyak orang yang ikut menimpali. Kegeraman Dasco ternyata bukan saja pada kubu lawan, TKN, tetapi juga pada kawan sendiri, BPN. Gerindra terlihat mulai ribut sendiri, soal apa? Soal isu, bahwa ada tawaran beberapa kursi menteri untuk partai Gerindra.
Publik mungkin heran pada sikap Dasco, karena isu ini pertama kali dikumandangkan oleh Gerindra sendiri melalui politisi Gerindra sekaligus juru bicara BPN, Andre Rosiade. Andre mengatakan bahwa Jokowi ingin mengajak agar Gerindra dapat bergabung dengan pemerintah dengan menawarkan kursi menteri.
"Bahkan kita juga mendengar dari berbagai pihak, Pak Jokowi juga ingin mengajak Gerindra bergabung dalam pemerintahnya, dan juga menawarkan berapa kursi menteri. Itu yang pernah kita dengar, dan bahkan saya mendengar tawaran itu sendiri dari berbagai tokoh di pihak Pak Jokowi. Tapi sekali lagi itu hak mereka ingin berharap seperti apa," tutur Andre kepada wartawan, Kamis (6/6/2019).
TKN sendiri merasa apa yang dikatakan Andre itu berlebihan, bahkan terkesan gede rasa alias ge'er. TKN beralasan mana mungkin hal itu dapat dilakukan, padahal belum pernah ada pertemuan resmi dengan kubu Gerindra?
"Jangan dulu kegeeran ya, jangan geer, deh. Ketemu saja belum dengan Partai Gerindra, kok sudah merasa ditawari kursi menteri di kabinet," kata Wakil Ketua TKN Jokowi-Ma'ruf, Ace Hasan Syadzily.
Soal isu tawaran kursi menteri ini, Dasco sepertinya mengiyakan bahwa hal itu memang terjadi, bahkan menganggap proses tawar menawar merupakan hal yang wajar dan biasa dalam politik  pasca Pilpres digelar.
"Tawar menawar kemudian menerima tidak menerima itu adalah hal biasa dalam proses yang terjadi setelah pilpres," ujar Dasco.
Akan tetapi mengapa Dasco geram, serta nampak khawatir isu ini akan bergulir liar kemana-mana? Banyak tafsiran yang dapat diketengahkan, tetapi salah satu hal yang patut diduga adalah Gerindra mulai goyah atau tidak sehati dalam memutuskan langkah apa yang harus diambil, pasca pilpres, ataupun sesudah keputusan MK nanti.
Mengapa demikian? Gerindra sepertinya "gelisah" akan ditinggalkan sendirian. Di dalam koalisi Adil Makmur, Gerindra dapat dikatakan sebagai penggerak sekaligus pondasi. Gerindra menjadi tonggak dimana oposisi itu seharusnya berada.
Akan tetapi hal itu menjadi tidak mudah lagi ketika kolega besar seperti PAN dan Partai Demokrat (PD) mulai bermanuver mencari celah untuk bergabung ke koalisi Jokowi, yang secara rekapitulasi KPU sudah menang dan tinggal menunggu hasil sidang MK nanti.
Ditinggalkan sendiri itu tidak mudah, dan juga sakit. Melihat kolega politik berlomba-lomba untuk ikut menikmati kue kekuasaan tentu saja menggoda bagi Gerindra sebagai partai ataupun para kader sebagai individu untuk melakukan hal yang sama.
Fenomena di dalam partai terjadi ketidaksehatian, pro dan kontra dalam memutuskan langkah ke depan seperti yang dialami oleh PAN dan Demokrat, harus diakui lambat laun mulai merambah ke tubuh internal Gerindra.
Hal ini menjadi wajar dan mungkin dialami oleh Gerindra, karena kebanyakan partai masih sedang berjuang untuk dikelola secara demokratis, tidak secara oligarkis bahkan personalistik. Akibatnya  adalah sumber penerimaan utama parpol adalah kalangan elit internal sehingga tidak peduli pada anggota.
Hal ini mengakibatkan personal-personal di dalam partai yang secara elite belum "kuat", dan pada pileg yang lalu tidak berhasil  mulai berpikir untuk mencari jalan agar partai termasuk dirinya dapat safe, dan salah satu jalan adalah bergabung dengan pemerintahan.
BIsa jadi karena alasan itulah, persoalannya bagi Gerindra hari ini  adalah  ada polarisasi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang ingin melihat kesempatan ini menjadi nyata (bergabung dengan Jokowi) namun tidak mau  isu ini terlalu cepat diangkat ke permukaan, karena belum dimasak secara sempurna. Masih perlu diskusi secara internal, sekaligus melihat bibit bobot bebet sebelum keputusan diambil.
Kelompok kedua adalah kelompok nothing to lose, yang kebanyakan terdiri dari anggota yang berhasil di pileg kemarin dan seperti masih ingin memainkan isu ini sesuai dengan konteks yang diinginkan. Konteks yang ingin ditampilkan adalah Gerindra masih bertarung di ranah MK sehingga ajakan untuk bergabung ke dalam koalisi Jokowi, seperti akan memalukan pihak sendiri.
Siapa-siapa yang terbagi ke dalam kedua kelompok ini, masi belum jelas, meski  lambat laun akan terlihat jelas. Melihat  bagaimana isu ini bergulir, maka sekali lagi patut diduga bahwa Gerindra memang benar sedang goyah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H