Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

3 Alasan Simposium BPN Prabowo-Sandiaga Berakhir Anti Klimaks

14 Mei 2019   21:58 Diperbarui: 14 Mei 2019   22:22 2044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BPN Prabowo I Gambar : Tribun

Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno hari ini mengadakan simposium, temanya sangar, 'Mengungkap Fakta Kecurangan Pemilu 2019' di Hotel Grand Sahid, Jakarta.

Publik tentu menunggu dan ingin melihat bagaimana simposium ini berlangsung, hal-hal yang menjadi kesepakatan, termasuk di dalamnya adalah kekuatan argumentasi dari BPN untuk mengungkapkan tuduhan-tuduhannya selama ini kepada KPU sebagai penyelenggara pemilu, maupun kepada kubu TKN Jokowi-Ma'ruf.

Sayang sekali, jikalau ekspetasi publik cukup tinggi terhadap pertemuan pamungkas BPN ini,  boleh dianggap anti klimaks terjadi. Tidak ada sesuatu yang menonjol yang dihasilkan, bahkan narasi yang dikeluarkan dapat menggambarkan bahwa BPN masih belum menemukan formulalisasi yang tepat untuk mendukung setiap pernyataannya selama ini. Masih datar saja.

Paling tidak ada 3 (tiga) alasan yang dapat dikemukakan.

Pertama, BPN tidak mampu menunjukan kekuatan data yang menguatkan bahwa ada kecurangan, malahan menunjukan inkonsistensi di dalamnya.

Dalam simposium, alih-alih menunjukan dukungan data untuk menguatkan klaim 62 persen, BPN melalui anggota Dewan Pakar BPN, Laode Masihu Kamaluddin mengungkapkan data Prabowo Subianto unggul dengan perolehan suara 54,24%.

Ketidakkonsistenan data ini, membuat publik nampak akan terus bertanya-tanya, keabsahan data tersebut. Lagian dilansir dari detik.com ternyata angka 54,24 ini, bersifat sementara karena data masuknya baru 54,91%. Menyedihkan, karena rekap situng KPU sudah jauh di atas itu.

Kedua, simposium diisi oleh pernyataan-pernyataan yang tidak kontraproduktif yang keluar dari mulut tokoh-tokoh BPN sendiri. Mulai dari Wakil Ketua BPN Prabowo-Sandi, Priyo Budi Santoso yagn mengatakan bahwa BPN akan menarik semua saksi  di KPU Pusat hingga kabupaten/kota.

Spirit untuk mengawal suara hingga akhir, terlihat hilang begitu saja. Publik yang percaya ada penyeimbang yang akan membuat pemilu dapat dikoreksi ketika ada kesalahan, menjadi berpikir, bahwa BPN sebenarnya ingin mengutamakan kepentingan kelompok mereka saja, bukan kepentingan bangsa.

Bukankah menarik saksi, membuat "janji" itu tidak realisasi. Bukankah janji awal adalah mengawal hingga akhir, mengapa sekarang seperti kembali ingin mendelegitimasi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang diatur oleh undang-undang?  

Selanjutnya ada Rizal Ramli yang mengatakan bahwa ada suara sebesar 16,5 juta yang adalah pemilih abal-abal. Ini petikan perkataan Rizal Ramli seperti dilansir dari detik.com. "Karena kalau misalnya dimasukkan 10 orang ke 800 ribu TPS, sudah 8 juta. Ditambahi 20, jadi 16 juta. Pasti menang"

Ayolah BPN, jangan terus mengeluarkan pernyataan bernada halu.

Ketiga, Prabowo yang  akan menuliskan surat wasiat di Kertanegara. Apa? Surat wasiat? Mengatakan akan menuliskan surat wasiat bukanlah penutup yang apik di simposium. Simposium itu tempat menunjukan pemikiran yang berbasis data, bukan menggunakan perasaan semata.

Membiarkan rakyat bermain dengan frasa-frasa seperti "surat wasiat" membuat hidup rakyat seperti akan selesai setelah ada menang dan kalah dalam pemilu. Ayolah, rakyat butuh semangat, semangat untuk melanjutkan hidup.

Petani masih akan terus bekerja di sawah untuk tetap makan, pemuda-pemudi masih perlu sekolah untuk meraih cita-cita mereka, jangan biarkan rakyat kita berpikir bahwa kehidupan ini hanyalah soal kekuasaan dengan pernyataan-pernyataan yang menggambarkan dunia akan kiamat.

Sekali lagi ayolah BPN, jangan menyerah untuk menggunakan cara-cara yang lebih apik untuk menyelesaikan perjuangan. Jangan biarkan publik yang  menyaksikan melihat anti klimaks, malah kemunduran dalam proses demokrasi, karena kesalahan strategi yang dipakai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun