Pertama, apakah masyarakat tahu cara melapor, kemana melapor dan tahu waktu yang tepat untuk  melaporkan kecurangan tersebut?
Maksud pertanyaan ini adalah mengharapkan agar masyarakat dapat terus diedukasi untuk tidak memiliki cara berpikir yang salah.Â
Rakyat harus diedukasi bahwa jika menerima dan melihat kecurangan jangan sampai melapor ke individu, lembaga atau ormas yang tidak kredibel tetapi harus sampai ke lembaga-lembaga kredibel seperti Bawaslu dan MK.
Menjadikan kecurangan sebagai sesuatu yang viral tidak akan ada gunanya, jika itu tidak dilaporkan secara resmi. Â
Lalu mesti dipastikan pelaporan itu disampaikan pada waktu yang ditetapkan, karena lembaga seperti Bawaslu ini punya periode bekerja.
Kedua, apakah masyarakat sudah paham kekuatan bukti yang dapat membuktikan bahwa kecurangan itu bersifat TSM.?
Apakah masyarakat ketika mengatakan ada kecurangan, sudab menyertakan bukti forensik yang cukup menguatkan laporannya?
Banwaslu tentu mempunyai barometer untuk memeriksa bukti sehingga menyimpulkan TSM itu terjadi.Â
Misalnya, Â dari bukti terkumpul secara substansi dan sifatnya teknis, dari 800 ribu TPS berapa prosentase terjadinya kecurangan? jika 20 atau 30 persen saja maka tidak bisa dikatakan masif. Karena bisa dikatakan masif apabila mencapai 50 persen atau lebih dari itu.
Lalu jika ada salah  input data oleh KPU , kira -kira hanya menguntungkan salah satu kubu atau dua-duanya?
Terstruktur? Apakah semua lembaga terlibat secara berjenjang melakukan kecurangan tersebut. Ini harus dapat dibuktikan.