Diskusi tentang rekomendasi "Diskualifikasi Jokowi-Maruf" dari hasil Ijtima Ulama III terus bergilir, saya sempat menyaksikan beberapa diskusi yang disiarkan di beberapa stasiun televisi.
Menurut saya, konten diskusi itu dapat dibelah dua. Pertama, apakah hasil Itjima Ulama itu dapat dijadikan panduan. Jika diperhatikan, pertanyaan ini mengerucut kepada pertanyaan apakah pertemuan Itjima Ulama itu mewakili suara umat atau kepentingan politik.
Untuk beberapa pertanyaan ini, tentu saya mendapati ada pro kontra disini dan tentu tidak mau terlalu jauh membahasnya, meskipun di sisi lain, saya harus jujur mengakui  bahwa pertemuan itu adalah bagian dari hak konstitusi dan bentuk partisipasi politik masyarakat, sah-sah saja.
Kedua, soal rekomendasi diskualifikasi Jokowi-Maruf. Ini yang saya ingin lebih jauh membahasnya.Â
Dari beberapa diskusi yang saya amati, memperlihatkan dengan jelas bahwa jikalau rekomendasi ini adalah sebuah bentuk konstruksi opini, maka bangunan opini ini terlihat sangat lemah.
Mengapa demikian? Rekomendasi diskualifikasi ini selain dapat dikatakan misunderstanding juga dapat dikatakan sudah mendahului proses demokrasi atau konstitusi seharusnya. Â
Belum ada pembuktian melalui pengumpulan alat bukti dan investigasi masak sudah didiskualifikasi.
Lebih jauh, rekomendasi itu jika berdasarkan tuduhan kecurangan yang dikatakan terstruktur, sistematif dan masif (TSM), maka harus disertai bukti forensik yang cukup.
Bukti-bukti ini pun harus dibawa dan dipertanggungjawabkan kepada lembaga-lembaga yang ditunjuk secara resmi oleh konstitusi untuk memutuskan. Seperti Bawaslu hingga kepada Sidang MK apabila hasil sidang Pleno KPU nantinya ditolak oleh salah satu kontestan.
Mengapa ini penting? Karena nampaknya dari diskusi-diskusi yang ada, jika dicermati dengan kritis membuat kita perlu bertanya-tanya atas dua hal.