Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kemacetan Jakarta dan Cerita Putrajaya Menjadi Ibu Kota Baru Malaysia

1 Mei 2019   00:15 Diperbarui: 1 Mei 2019   06:44 1553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu alasan yang mengemuka kenapa ibu kota harus dipindahkan, khususnya dalam urusan menjadi ibu kota pemerintahan adalah kemacetan. Jakarta bisa dikatakan sudah sangat kronis jika bicara soal ini.

Pada awal 2017, sebuah penelitian  memaparkan bahwa pada 2016 pengendara mobil di Jakarta menghabiskan waktu 55 jam dalam setahun akibat terjebak kemacetan. Data itu menempatkan Jakarta di peringkat ke-22 kota termacet di dunia.

Hasil survei ini menunjukkan bahwa kemacetan Jakarta "hanya" lebih baik dibandingkan Bangkok, Thailand, yang menempati peringkat pertama sebagai kota termacet di Asia Tenggara dengan waktu total 64,1 jam setahun.

Jauh sebelumnya, sebuah studi dari Japan International Cooperation Agency (JICA) pada 2000 pernah menyebutkan bahwa Jakarta terancam menjadi kota gagal akibat kemacetan sangat parah pada 2014. Meski tak sepenuhnya terbukti, tetapi JICA tak mengada-ada, mungkin tinggal menunggu waktu.

Kemacetan yang sedemikian hebat itu membuat mobilitas orang Jakarta sangat lamban sehingga memengaruhi rendahnya produktivitas mereka. Jutaan warga Jakarta harus menghabiskan waktu berjam-jam untuk pulang-pergi dari dan ke tempat kerja.

Putrajaya Ibu Kota Pemerintahan Malaysia Sejak 1999
Alasan kemacetanlah yang sejak lama menjadi dasar dari pemerintah Malaysia untuk memindahkan ibu kota pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Putrajaya secara resmi pada 1999 lalu.

Putrajaya yang didirikan pada 19 Oktober 1995, dan namanya diambil dari nama Perdana Menteri Malaysia yang pertama Tengku Abdul Rahman Putra itu menjadi solusi dari kemacetan di Kuala Lumpur.

Bayangkan saja jikalau tidak dipindahkan maka masalah kemacetan yang dialami Kuala Lumpur bisa lebih parah dari Jakarta.

Jika mau dibandingkan, pada 2011, survey Journey Experience Index Frost & Sullivan yang diukur berdasarkan tingkat kecepatan, biaya perjalanan dan tingkat kenyamanan dan pengalaman secara keseluruhan menempatkan Kuala Lumpur di peringkat 14 dengan index kepuasan 61, jauh lebih baik dari Jakarta yang hanya memiliki nilai 30.

Menteri Keuangan (Menkeu) II Malaysia Ahmad Husni Handzalah pada 2013 pernah menceritakan tentang kesuksesan perpindahan ibu kota tersebut.

"Kenapa kami harus pindah? Karena ketika di Kuala Lumpur, kantor-kantor kementerian berada pada lokasi yang berbeda dan ketika kami ingin melakukan rapat kami terkendala dengan macet," ujar Husni.

Mulai 1995 Putrajaya yang berjarak cukup jauh dari Kuala Lumpur mulai berbenah. Lahan yang pada mulanya adalah kebun sawit disulap sedemikian rupa menjadi sebuah kawasan pemerintahan dengan luas 46 km2.

Selanjutnya, dibangunlah infrastuktur jalan hingga pembangunan gedung-gedung baru. Setelah itu, semua kantor pemerintahan dipindahkan, kecuali Kementerian Perdagangan dan Investasi yang tetap berada di Kuala Lumpur.

Husni lebih lanjut menceritakan bagaimana dampak positif yang didapat Malaysia setelah sukses memindahkan pusat pemerintahan. Husni menuturkan banyak efisiensi dan efektifitas yang didapat dari langkah ini. Termasuk di dalamnya adalah peningkatan produktivitas kerja para aparatur negara.

"Saat ini baik kementerian saya untuk menuju perdana menteri itu jalannya hanya 5 menit. Ini sangat produktif, waktu yang digunakan sangat efisien dan pada waktu yang sama, kita bisa berpikir untuk agenda selanjutnya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi," tambah Husni.

Cerita Husni ini kembali lagi menegaskan pentingnya ibu kota baru sebagai ibu kota pemerintahan. Ibu kota yang jauh dari kemacetan sehingga membuat pekerjaan yang berkaitan dengan birokrasi tidak terhambat, efektif, efisien dan tentunya produktif. 

Selain itu, tentu saja tujuan lain seperti mendorong sumber pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa  sekaligus dapat tercapai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun