Saya ingat pertama kali saya mendengar Teori Kubler-Ross dihubungkan dengan politik adalah saat diskusi berkaitan dengan hasil pemilu di salah satu stasiun TV nasional membahas Prabowo yang melakukan sujud syukur sekaligus deklarasi kemenangan.Â
Saat itu,  pengamat Politik Burhanudin Muhtadi menggunakan teori ini ketika berusaha  memahami tindakan dan suasana hati Prabowo ketika melakukan ketidaksetujuan terhadap hasil quick count.
Pria yang juga Direktur Eksekutif Indikator Politik ini lantas mengungkapkan ada pendekatan yang lebih empatik psikologis untuk memahami perilaku Prabowo.
"Di 2014, pengulangan persis sekali. Di 2014 ada penolakan terhadap hasil quick count, kemudian Pak Hatta Rajasa juga tidak hadir pada waktu itu. Kemudian ketika KPU merilis hasil quick count, muncul penolakan terhadap real count KPU kemudian diajukan gugatan ke MK, MK menolak, akhirnya disitu acceptance mulai, dan Jokowi dilantik" cerita Burhanudin saat itu.
Kata-kata penolakan, hingga penerimaan ini meskipun tidak secara lengkap dijelaskan , namun dalam ilmu psikologi kita kenal atau sebut sebagai teori Kubler-Ross atau juga dapat disebut sebagai model Kubler-Ross. Model ini memberikan 5(lima) tahap dalam teorinya yang disebut juga sebagai Lima Tahapan Kedukaan (The Five Stages of Grief) atau Lima Tahapan Kehilangan.
Model ini diperkenalkan oleh Dr. Elisabeth Kubler-Ross dalam bukunya berjudul On Death and Dying yang diterbitkan pada tahun tahun 1969.
Dr. Kubler-Ross pada awalnya melihat penerapan tahapan-tahapan ini pada penderita penyakit gawat di rumah sakit atau sudah sekarat, kemudian baru Kubler-Ross mulai untuk mengaplikasikan terori ini  pada kasus lain seperti kehilangan pekerjaan, penghasilan, kekalahan  yang sangat berpengaruh dalam hidup seseorang.
Mari coba uraikan lima tahap ini sekaligus mencoba masuk ke dalam cara berpikir Burhanudin Muhtadi untuk memahami Prabowo.
Tahap pertama adalah penolakan atau penyangkalan (Denial). Â Seseorang yang baru saja merasakan kehilangan, kedukaan, kekalahan dan sejenisnya akan mengatakan seperti ini : "ini tidak mungkin terjadi", Â "saya tidak percaya" dan lain lain yang merupakan tanda bahwa dia telah menyangkal.
Tahap kedua adalah marah (Anger). Orang tersebut akan mulai bertanya. "Kenapa saya ? Ini tidak adil!"; Siapa yang harus dipersalahkan?", ini menjelaskan bahwa setelah penyangkalan, seseorang biasanya marah dan merasa apa yang terjadi padanya sungguh tidak adil.
Tahap ketiga adalah tawar menawar (Bargaining). Ada sedikit penurunan kemarahan dengan mulai mengajukan pertanyaan positif yang memberikan harapan.
Semisal dengan mengatakan : "andai saja, saya yang ada di posisi tersebut" atau secara psikologis, individu tersebut akan mengatakan, "Saya mengerti saya akan mati, tetapi jika saja saya memiliki lebih banyak waktu..."
Tahap keempat adalah Depresi (Depression). Individu tersebut sampai di puncak pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut pikirannya. Dia menjadi sangat tidak berdaya dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sampai pada tahap berikutnya.
Positifnya adalah individu ini akan memiliki waktu perenungan lebih banyak hingga akhirnya bersiap untuk masuk ke tahap kelima.
Tahap kelima atau terakhir adalah Penerimaan (Acceptance). Di tahap ini, Seseorang mulai dapat menerima dengan ikhlas apa yang terjadi. Individu tiba pada kondisi sebagai mahluk hidup atau kepada yang dicintainya dan bersiap memulai lembaran baru dalam hidupnya.
Pertanyaannya adalah apakah semua orang yang kehilangan, akan mengalami semua tahap ini? Kubler-Ross lantas menjelaskan bahwa tidak harus, akan tetapi si "penderita" minimal akan mengalami dua tahap dalam prosesnya.
Hal ini seperti menjelaskan bahwa ada orang yang kehilangan atau mengalami kekalahan, bisa cepat atau segera menerima dan memberikan selamat kepada pemenang.
Urutannya juga dijelaskan oleh Kubler-Ross dapat berubah-ubah dengan frekuensi di tahapan tertentu bisa saja lebih lama dan lebih banyak. Â Individu tersebut, bisa menolak dan marah dalam jangka waktu yang lama. Â Inilah yang gawat dan kontraproduktif.
Hal yang akan merugikan jika seseorang memaksakan atau memilih untuk berada dalam satu tahapan lebih lama, maka dia harus menyadari bahwa dengan melakukan itu maka dia juga akan lebih panjang untuk sampai ke tahap penerimaan (acceptance), sebuah tahap kebebasan.
Meskipun Kubler-Ross dalam bukunya mengatakan bahwa tidak perlu tergesa-gesa untuk menyelesaikan tahap demi tahap  ini, namun Kubler-Ross juga mengingatkan bahwa orang yang kehilangan harus memastikan atau dipastikan akan sampai ke tahap acceptance.Â
Selama itu tidak terjadi, maka rekonsiliasi diri atau relasi dengan orang lain tidak mungkin atau semakin sulit dilakukan.
***
Kembali ke pandangan Burhanuddin Muhtadi ini, bagi saya pemaparan model ini tanpa disadari dalam kondisi ini akan memberikan harapan.
Di luar konteks bahwa polemik dan konflik pasca pemilu yang sekarang, Â dapat dipandang sebagai bagian dari proses demokrasi, namun dari sisi psikologis, kita bisa berharap bahwa siapapun elit politik yang mengalami "kekalahan", Â siapapun dia, Â dalam tahap ini akan bergerak mulus ke arah acceptance, tidak terlalu lama di tahap denial atau anger.
Akhirnya, setuju dengan Muhtadi, bahwa apa yang sekarang terjadi dapat diterima sekedar sebagai sebuah pengulangan. Prosesnya yang kita harap bisa lebih cepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H