Wasit Nurul Safarid ditangkap oleh Satgas Anti Mafia Bola pada Senin (7/1/2019). Â Wasit asal Garut ini diduga terlibat dalam kasus pengaturan skor laga Liga 3, antara Persibara Banjarnegara melawan PSS Pasuruan. Nurul diduga menerima upah sebesar 45 juta untuk memastikan skor di lapangan sama persis dengan yang diinginkan oleh para pemesan skor.
Penangkapan Nurul mengingatkan akan sosok Nasiruddin. Siapa Nasiruddin? Nasiruddin adalah wasit nasional yang terlibat dalam skandal mafia pengaturan skor pada tahun 1997.  Saat itu, Nasiruddin bersama 10 orang wasit Indonesia lainnya terbukti terlibat match fixing dalam ajang SEA Games 1997. Kasus yang heboh pada saat itu, juga menyeret nama Djafar Umar yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi Wasit PSSI.
Hukumannya tak main-main. Nasiruddin dihukum 10 tahun sedangkan yang lain mendapat hukuman di antara 20-25 tahun, termasuk Djafar Umar yang dijuluki Godfather mafia wasit.
Akan tetapi cerita Nasiruddin ternyata tak selesai sampai disitu. Pada tahun 2015, atau 18 tahun kemudian Nasiruddin kembali dijerat, dengan kasus serupa. Bukan di Indonesia tetapi di Singapura.
Biro Investigasi Praktik Korupsi Singapura (CPIB), meringkus Nasiruddin sesaat sesudah  memimpin laga pembuka Grup B cabang sepakbola SEA Games 2015 yang mempertemukan Timor Leste vs Malaysia, 30 Mei 2015.
Nasiruddin terbukti bekerja sama dengan dua orang lainnya untuk menyuap direktur teknik timnas sepakbola Timor Leste, Orlando Marques Henriques Mendes dengan menawarkan 11 ribu dolar Amerika Serikat ke Timor Leste di ajang SEA Games 2015.Â
Bukan itu saja, Nasiruddin juga terbukti bersekongkol menyuap mantan pemain Timor Leste, Moises Natalino De Jesus, dengan membujuk Moises mengalah pada laga melawan Malaysia.
Biro Investigasi Praktik Korupsi Singapura (CPIB) akhirnya bergerak cepat dan membuat Nasiruddin harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Melalui proses huku, Nasaruddin dipenjara selama 30 bulan atau 2,5 tahun di Singapura.
Apa yang menarik dari sepak terjang  Nasiruddin  ini? Banyak pihak yang merasa heran bagaimana bisa Nasaruddin dapat melakukan hal yang jahat itu di waktu berbeda dan negara berbedadi ajang yang sama sebesar Sea Games.
Salah satu yang mempertanyakan hal tersebut adalah mantan wasit senior Indonesia, Â Jimmy Napitupulu.
"Tapi, dia itu merupakan wasit nakal. Nasiruddin pernah terlibat kasus serupa di tahun 1997. Tapi, saya heran kenapa dia bisa sampai di Singapura," ujar Jimmy.
Selanjutnya, Napitupulu berusaha memberikan pandangannya sendiri  tentang sepak terjang Nasiruddin.  Jimmy menduga bahwa Jimmy bekerja tidak sendirian bahkan dilindungi oleh para cukong besar.
"Pasti dia punya bos. Sebab, terakhir kali bertemu dengan saya, dia tidak punya uang. Untuk makan saja sulit, kasihan sekali nasib dia saat itu," ujar Jimmy pada 2015, sesaat sesudah kasus ini mencuat.
Jika kita melihat konteks ini lebih dekat, tentu saja persoalannya bukan saja mengenai Nasaruddin dilindungi siapa, tetapi lebih daripada itu adalah mengapa orang yang sudah terbukti melakukan pelanggaran berat masih dapat berkecimpung lagi di dunia sepak bola.
Oleh karena itu, belajar dari hal tersebut maka amat dirasa perlu untuk Satgas agar memikirkan tentang konstruksi hukum yang tepat yang  bertujuan bukan saja untuk memberi efek jera pada para pelaku saja, tetapi sekaligus "menutup" ruang bagi para mafioso itu agar selamanya tidak beraktivitas lagi di sepak bola.
Mengapa ini perlu diperhatikan? Alasannya karena kasus serupa Nasaruddin juga pernah terjadi di dalam konteks berbeda. Runner atau perpanjangan tangan Bandar judi, Bambang Suryo pernah dihukum pada 2015  karena diduga terlibat pengaturan skor dalam Sea Games 2015.Â
Suryo akhirnya  dihukum seumur hidup namun tiga tahun kemudian Suryo sudah aktif lagi  bahkan menjadi manajer klub bola,  Metro FC.  Kasus hukum Suryo kabarnya "dibersihkan" atau dipulihkan oleh PSSI. Absurd.
Apa yang dapat dilakukan oleh Satgas? Saat ini Satgas menggunakan konstruksi hukum berikut untuk menjerat para pelaku yaitu; dugaan tindak pidana penipuan dan/atau penggelapan dan/atau tindak pidana suap dan/atau tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP dan/atau Pasal 372 KUHP dan/atau UU No 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap dan/atau Pasal 3, 4, 5, UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU.
Konstruksi hukum ini tentu saja terbatas soal jangka waktu hukuman, namun yang paling penting adalah bagaimana para terhukum nantinya dimasukan dalam black list atau daftar hitam sehingga mencegah mereka untuk terlibat lagi di dunia sepak bola.
Selain itu perlu dipikirkan juga bagaimana caranya untuk mengawasi aktivitas para terhukum nantinya di masa depan saat di dalam tahanan atau sesudah menajalani hukuman. Hal ini Ini juga penting karena pada faktanya aktivitas mafia ini bisa dijalankan tidak tergantung tempat mereka berada.
Kekuatan mafia bola yang begitu besar ditambah dengan ketergantungan pada para pelaku, maka seperti kasus-kasus sebelumnya  kerjasama mereka biasanya masih akan tetap berjalan dalam waktu yang lama, meskipun diselingi dengan putus nyambung karena 'anggota" sedang terjerat persoalan hukum.
Satgas dirasa perlu juga belajar dari CPIB yang diperkirakan menggunakan jaringan Interpol untuk menangkap terduga. Ada optimisme bahwa hal itu dapat dilakukan saat Polri ikut menangani kasus pengaturan skor ini.
Oleh karena itu, sekali lagi kita perlu optimis dan terus mendukung Satgas agar dapat menjerat pelaku dan juga memastikan bahwa mereka tidak akan melakukannya lagi. Jangan sampai ada Nasiruddin-Nasiruddin lainnya di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H