Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sesudah Timnas Indonesia Tak Lolos dari Fase Grup Piala AFF 2018

21 November 2018   22:59 Diperbarui: 21 November 2018   23:17 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas Indonesia harus mengubur impian di Piala AFF 2018 I Gambar : ANTARA

Laga imbang antara Thailand melawan tuan rumah Filipina yang berakhir dengan skor 1-1, membuat harapan bagi timnas Indonesia untuk lolos ke semifinal Piala AFF 2018 Sirna. Nilai kedua negara tersebut yang mencapai poin 7 sudah tidak bisa dikejar oleh Indonesia yang maksimal hanya akan mendapatkan poin enam, itupun jika menang melawan Filipina di pertandingan terakhir.

Format baru Piala AFF 2018 terasa kejam dalam situasi ini. Meskipun menerapkan sistim tandang kandang , jumlah pertandingan yang dimainkan tetaplah sama. Artinya, setiap tim tetap memainkan empat pertandingan dengan skema bergantian tandang dan kandang. Indonesia bermain tandang melawan Singapura, kandang melawan Timor Leste, tandang Thailand dan akan kandang melawan Filipina di pertandingan terakhir.

Jika harus mengulang, saya akan memilih melawan Singapura dan Thailand sebagai tuan rumah. Akan tetapi saya juga sadar bahwa rasanya memalukan jika harus menyalahkan format turnamen, sebenarnya kita sendirilah yang tidak mampu menentukan nasib kita sendiri dan harus mengharap belas kasihan tim lain di sisa pertandingan grup.

Dua kekalahan tandang yang menyakitkan  sudah cukup bagi timnas Indonesia untuk mengubur impian mereka paling tidak menyamai prestasi di tahun 2016. Di Piala AFF 2016, timnas Indonesia yang dilatih oleh Alfred Riedl dan dimotori oleh Boaz Salosssa berhasil melangkah hingga babak final sebelum ditumbangkan Thailand dengan skor agregat 2-3.

Miris sekali karena saat ini,  timnas Indonesia malah harus berjuang agar jangan sampai menjadi juru kunci di fase grup, bersaing dengan Timor Leste. Amat memalukan.

Lalu apa yang dapat dilakukan sekarang? Apa yang dapat dipelajari dari kegagalan ini? Tentu saja yang diharapkan adalah perubahan besar-besaran terhadap  tim yang ada sekarang. Paling tidak ada 2 (dua) hal utama yang perlu dilakukan.

Pertama, melakukan evaluasi secara menyeluruh. Kegagalan ini menampakan wajah sebenarnya dari situasi persepakbolaan kita. Kita seperti membangun istana pasir yang terlihat menarik untuk dipandang tetapi amat ringkih ketika menghadapi hembusan angin yang kecil.

Ketika ditinggalkan oleh Luis Milla, semuanya mulai terlihat aslinya. Mulai dari kenyataan tentang sikap tidak profesional PSSI yang ternyata tidak mampu membayar gaji Milla secara teratur dan berujung kekecewaan dan pengunduran diri  pelatih asal Spanyol tersebut.  

Hal yang berakibat PSSI akhirnya harus mengambil sebuah pilihan yang terlihat "terpaksa" ketika memilih Bima Sakti sebagai pelatih timnas untuk mengarungi ajang Piala AFF 2018.

Evaluasi menyeluruh ini juga saya harapkan tidak membuat PSSI menjadi takut melakukan auto-kritik, PSSI harus legowo untuk menerima jika titik persoalannya juga ada di dalam manajemen mereka.

 Jika tidak mampu, seharusnya pengurus mau berani untuk mundur.  Namun jika masih merasa mampu dan tak tahu malu,  maka harus segera memperlihatkan perubahan yang signifikan. Kita membutuhkan perubahan, bukan sekedar retorika. Retorika ang berujung minim prestasi.

Hampir tidak dapat dipercaya, sebuah tim yang dikatakan sebagai kandidat juara bernasib seperti ini.

Kedua,  mengganti pelatih timnas senior dengan pelatih yang berkualitas. Pada awal 2018, Ketua umum PSSI, Edy Rahmayadi  mengatakan bahwa target PSSI adalah tembus Piala Dunia 2045. Mimpi yang sebenarnya dapat menjadi kenyataan jika langkah-langkah strategis dilakukan secara konsisten. Sayangnya jika mau jujur, itu tidak dapat dilakukan.

Tidak mungkin dapat  bermimpi besar dengan langkah-langkah kecil. Hal ini seperti membuat PSSI seperti terjebak dalam imajinasi bahwa sedang memiliki kemampuan  super padahal kenyataannya bermodal tenaga dan cara berpikir yang minimalis. Salah satunya ketika memutuskan memilih Bima Sakti yang tanpa pengalaman menjadi pelatih saat timnas menjalani Piala AFF 2018.

Ini berarti kita harus mendorong PSSI untuk kembali berpikir logis, terkhususnya soal pelatih.  Bima sebaiknya diberhentikan sesudah pertandingan melawan Filipina.

Jika memiliki keinginan untuk perubahan, PSSI harus bergerak cepat untuk mencari pelatih yang berkualitas minimal setara dengan Luis Milla. Jika Filipina saja berani mengontrak Sven Goran-Eriksson, masak Indonesia dengan gairah sepak bola yang  lebih besar dari Filipina tidak  mampu melakukannya hal yang serupa.

Di dalam konteks ini, sekali lagi saya bukan bermaksud untuk  menganggap remeh Bima Sakti, tetapi saya pikir belum waktunya bagi Bima mengemban tugas yang amat besar ini. Jadi asisten pelatih lagi YES, namun sebagai pelatih kepala NOT YET.

Sebenarnya memilih pelatih yang lebih mumpuni juga bertujuan bukan saja agar mampu menghadirkan permainan sepak bola yang menarik dan berkualitas di lapangan tetapi juga diharapkan dapat menambah kepercayaan diri para pemain.

Timnas kita  mempunyai  kualitas pemain yang saya percaya mampu terus berkembang dengan lebih baik ke depan, tetapi perlu didukung oleh pelatih yang berpengalaman serta juga mampu membuat mereka yakin bahwa mereka diasah oleh pelatih yang tepat.

Saya mencium aroma, bahwa para pemain terkhususnya yang sudah dianggap berlabel bintang sebenarnya sudah tidak yakin akan kemampuan Bima sebelum dan saat Piala AFF berlangsung, namun PSSI seperti tidak mempunyai solusi dalam keadaan seperti itu.

***

Mimpi menjadi juara Piala AFF sekali lagi harus terkubur. Indonesia masih harus rela bahwa prestasi terbaik di ajang ini adalah berbangga pernah menjadi finalis hingga lima kali, tanpa sekalipun menjadi juara. 

Mesti disesali, karena di dalam level kejuaraan, Piala AFF yang melibatkan negara se-Asia Tenggara masih kalah jauh dari level Piala Asia dan Piala Dunia. Mimpi untuk tembus Piala Dunia 2045 yang dikumandangkan oleh Edy Rahmayadi sebaiknya dikoreksi terlebih dahulu, minimal menunggu sampai waktunya dimana lemari di gedung PSSI tersimpan trofi Piala AFF.

Piala AFF 2020?. Jika tidak ada perubahan secara signifikan lagi, maka tontonan timnas yang sedang berjuang keras untuk lolos dari fase grup sekali lagi dapat menjadi tontonan wajib dua tahun mendatang.

Semoga itu tidak terjadi, lekas bangkit sepak bola Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun