Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kisah Tim Sepak Bola yang Selamat dari Kecelakaan Pesawat

31 Oktober 2018   08:30 Diperbarui: 31 Oktober 2018   18:18 1310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemain Chapocoense yang selamat dari tragedi (Foto: Twitter @chapecoense)

Saya terus bersedih dan berduka bersama korban jatuhnya pesawat Pesawat Lion Air JT 610. Empati dan simpati saya, mungkin tidak mampu membuat air mata dan kesedihan rekan, keluarga dan sahabat yang ditinggalkan berhenti. Saya berdoa agar semua yang ditinggalkan diberikan kekuatan, karena di balik semua kesedihan ada maksud yang teramat baik bagi kita semua.

Di dalam kesedihan saya dan upaya evakuasi yang dilakukan Basarnas, dalam hati kecil, saya masih berharap ada yang ditemukan dengan selamat. Meskipun kemungkinannya semakin kecil, tetapi kisah selamat dari para penumpang akan menjadi sebuah kisah yang mengingatkan kita bahwa kehidupan itu teramat berharga, dan tidak akan datang untuk kedua kalinya.

Dari dunia sepak bola ada beberapa cerita terkait dengan ini. Pada 6 Januari 1958, British European Airways dengan nomor penerbangan 609 mengalami kecelakaan saat akan lepas landas dari landasan yang dipenuhi kubangan lumpur di Bandara Udara Munich-Riem, Munchen, Jerman.

Pesawat crash, padahal di dalam pesawat terdapat para pemain Man United yang sedang bersinar ketika itu seperti Duncan Edwards, Geoff Bent, Roger Byrne, Eddie Colman, Mark Jones, David Pegg, Tommy Taylor, Liam "Billy" Whelan dan Bobby Charlton yang masih berusia 20 tahun saat itu.

Skuad 1958 I Gambar : ManchesterUnited
Skuad 1958 I Gambar : ManchesterUnited
Setelah dilakukan penyelamatan, 20 orang  dari 44 orang di pesawat tewas dalam kecelakaan. Bobby Charlton selamat dari kecelakaan tersebut sedangkan delapan anggota skuad MU meninggal. Beberapa tahun kemudian, Charlton kemudian menjadi salah satu pemain terbaik.

Nasib baik Charlton dialami juga oleh  Kalusha Bwalya, kapten tim Zambia meskipun dengan cara yang berbeda.

Pada 27 April 1993, di Senegal, para pendukung Zambia menunggu kedatangan pesawat yang ditumpangi timnas Zambia yang akan berhadapan dengan Senegal untuk tiket Piala Dunia 1994. Namun pesawat tidak pernah mendarat dengan selamat tapi jatuh.

Seluruh penumpang dan awak pesawat yang berjumlah 30 orang termasuk pelatih Zambia Godfrey Chitalu dan 18 pemain Timnas meninggal. Duka menyelimuti Zambia, Afrika dan dunia. Kalusha Bwalya selamat dari tragedi tersebut karena melakukan perjalanan menggunakan pesawat yang berbeda dari tim tersebut.

Kalusha Bwalya saat mengenang persitiwa 1993 I Gambar : LigaOlahraga
Kalusha Bwalya saat mengenang persitiwa 1993 I Gambar : LigaOlahraga
Pada 2012, Zambia menjadi juara Piala Afrika. Suasana emosional begitu kuatnya karena final dimainkan di Libreville, kota terakhir persinggahan para korban tragedi 1993 sebelum bertolak ke Senegal. "Impian saya adalah bisa memenangkan Piala ini di Libreville (tempat final Piala Afrika). Sebab, sebagian besar catatan sejarah Zambia ada di sana," kata Bwalya  saat itu. Kini Bwalya menjadi Presiden Federasi Sepak Bola Zambia.

Kisah selamat yang masih segar di ingatan kita adalah tragedi  yang menimpa klub Brasil, Chapecoense.

Pada November 2016 , pesawat jarak pendek British Aerospace 146 yang dioperasikan oleh maskapai penerbangan Bolivia -- Lamia jatuh di Medellin, Kolombia. Di dalam pesawat terdapat para staf dan pemain klub Brasil, Chapecoense.

Chapecoense sedang dalam penerbangan menuju Kolombia untuk menjalani leg I final Copa Sudamericana melawan Atletico Nacional. Namun, pesawat yang ditumpangi mereka jatuh di tengah perjalanan.

Sebanyak 75 dari 81 penumpangnya tewas. Hanya enam orang selamat dalam penerbangan yang terbang dari Brasil melewati Bolovia dengan tujuan Medellin, Kolombia.

Sebuah tindakan fair play nan inspiratif dilakukan oleh Atletico Nacional, calon lawan Chapecoense di final.

"Kami menyarankan Conmebol menetapkan Chapecoense sebagai juara Copa Sudamericana untuk bentuk tribut terhadap kehilangan yang mereka alami, serta tanda hormat untuk para korban tragedi yang mereka alami. Bagi Atletico Nacional, Chapecoense adalah juara Copa Sudamericana," demikian bunyi pernyataan resmi Atletico Nacional.

Usulan Atletico diterima dan Chapecoense ditetapkan menjadi juara Copa Sudamericana.

Dari korban selamat yang hanya enam orang,  ada tiga orang anggota skuat yang selamat, Alan Ruschel, Jakson Fulman dan Helio Neto. Kisah selamat ketiga ini meninggalkan kesan tentang kehidupan yang begitu dalam.

Pertama, Alan Ruschel . Dikabarkan bahwa pemain yang sekarang berusia 29 tahun itu ditemukan dalam keadaan sadar. Para petugas penyelamat menceritakan kata-kata pertama yang terucap dari bibir pemain bola Brasil, Alan Ruschel.  "Keluargaku, teman-temanku, di mana mereka," tanya Ruschel pada relawan.

Masih ada yang belum mengerti bagaimana Ruschel dapat selamat tetapi bagi Ruschel, lolosnya dirinya dari kematian dianggap sebagai kesempatan kedua dalam kehidupan. "Hanya Tuhan yang dapat menjelaskan mengapa saya bisa selamat dari kecelakaan. Tuhan memberikan saya kesempatan kedua," ucap Ruschel.  

Kedua, Jakson Ragnar Follmann. Kaki sang kiper berusia 26 tahun itu diamputasi sehingga kehilangan kakinya yang satunya lagi.

"Saya terbangun (sebelum datang kru penyelamat). Saya membuka mata. Situasi sangat gelap dan sangat dingin. Saya menggigil. Saya berteriak, 'Tolong! Saya tak mau mati!." kenang Follmann.

Meskipun mengalami kecelakaan yang mengerikan, Follmann bertekad bangkit. Dia ingin menatap kembali lembaran kehidupannya. "Saya akan menikah. Saya ingin kembali dengan kehidupan normal," tutur Follmann yang tetap dipekerjakan di Chapocoense sebagai bagian dari manajemen.

Ketiga,  Helio Hermito Zampier Neto.  Kondisi selamat dalam keadaan yang lebih baik dialami oleh Helio Neto. Meski mengalami benturan parah pada bagian tengkorak, toraks dan paru-parunya, bek yang sekarang berusia 33 itu berada dalam keadaan yang stabil.

"Putra saya semakin membaik. Ia telah melewati operasi pada kakinya dan dokter mengatakan ia akan kembali ke sepakbola. Kami akan terus berdoa karena kami ingin agar ia keluar dari rumah sakit untuk merawatnya lebih dekat," tulis ayah Neto sesaat di Operasi.

Neto berhasil dioperasi, dan mengeluarkan kalimat menyentuh. "Kenangan datang dan pergi. Kesedihan saya adalah mengetahui bahwa saya tidak akan pernah melihat teman-teman saya lagi. Semua kenangan indah saya bersama mereka selalu ingin saya ingat dengan perasaan sukacita. Namun, saya lega mengetahui bahwa rekan tim saya sudah bersama-sama dengan Tuhan sekarang," tuturnya.

***

Pada 21 Januari 2017 lalu, Chapecoense yang membangun kembali timnya dengan beberapa pemain pinjaman melakukan laga perdana dengan menggelar laga persahabatan melawan klub Brasil lainnya, Palmeiras sekaligus pemberian trofi Copa Sudamericana di Arena Conda, Chapocoense.

Suasana mengharukan terjadi saat pemberikan trofi. Follmann, yang kakinya harus diamputasi, diberi kesempatan memegang trofi Copa Sudamericana. Hampir semua orang yang berada di Arena Conda menitikkan air mata.

Jakson Fullman tidak bisa menahan haru I Gambar : Tribun
Jakson Fullman tidak bisa menahan haru I Gambar : Tribun
Laga ini sempat dihentikan tepat pada menit 71 untuk memberikan tribute kepada 71 korban tewas. Seluruh orang di Arena Condo berdiri dan bertepuk tangan di menit 71.

Saat pemberian trofi, suasana semakin mengharukan. Follmann masuk lapangan menggunakan kursi roda, sedangkan Ruschel dan Neto berdiri di belakang Fulman. 

Follmann, yang kakinya harus diamputasi, diberi kesempatan memegang trofi Copa Sudamericana. Hampir semua orang yang berada di Arena Conda menitikkan air mata.

"Saya yakin mereka yang sudah meninggalkan kita, jika melihat ini, pasti bahagia," kata Ruschel saat itu. Ketiganya tampak meneteskan air mata sambil memegang trofi Copa Sudamericana 2016.

***

Selain ketiga kisah ini, masih ada kisah-kisah lain, tetapi berakhir lebih tragis. Pada 1949, Italia berduka untuk Tragedi Superga, dimana semua penumpang meninggal dunia, termasuk di dalamnya seluruh tim Torino beserta staf klub dan jurnalis. Torino adalah kekuatan utama Timnas Italia saat itu.

Berikutnya Tragedi Viloco pada 1969  yang memakan korban dari Klub,  Strongest. salah satu tim tersukses di Bolivia saat itu.  

Saat  kembali dari partai persahabatan melawan Santa Cruz, pesawat dinyatakan hilang. Sisa-sisa bagiannya belakangan ditemukan di Viloco. 83 penumpang dinyatakan meninggal dunia, termasuk di dalamnya 17 pemain dan manajer.

Bagi saya, kisah-kisah ini menggambarkan tentang kesementaraan hidup dan betapa berharganya kediupan. Manusia terlalu kecil jika diperhadapakan terhadap kehidupan dalam perspektif ini.

Kita tak punya kuasa untuk mengatur kehidupan itu sendiri, tetapi kita dapat mewarnainya dengan perbuatan baik sepanjang kehidupan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun