Tadi malam tanpa sengaja saya terbangun ketika tunggal putri kita, Gregoria Mariska Tunjung sedang bertanding melawan tunggal putri Denmark, Mia Blichfeldt di babak perdelapan final Denmark Terbuka 2018. Sedang ada siaran langsung turnamen level 750 itu  di siaran TV berbayar yang dulunya milik Kompas tetapi sekarang saya kurang tahu.
Pertandingan set pertama hampir selesai, dan seperti biasanya tunggal kita sedang ketinggalan, dan akhirnya memang kalah di set pertama dengan 16-21.
Biasanya saya langsung akan tidur jika tak ada harapan, tetapi saya penasaran dengan penampilan Gregoria karena sebelumnya saya belum pernah sama sekali menyaksikan Gregoria beraksi.
Hitung-hitung sekaligus memberikan dukungan meski dari layar kaca di tengah dukungan publik Denmard di Odense Sports Park yang bergemuruh mendukung Blichfeldt.
Berusaha menahan kantuk, saya juga akhirnya tahu pelatih pebulutangkis berwajah manis ini adalah Minarti Timur saat Minarti menemui Gregoria waktu rehat akhir atau tengah set.
Nama dan wajah Minarti Timur memang menarik perhatian saya sewaktu dulu baru mengenal bulutangkis. Namanya unik dengan akhiran nama pertama dan awalan nama kedua bernada sama "Ti". Bandingkan dengan saya, Arnold Adoe, tidak unik bukan?
Ah, tidak penting! Oh, soal wajah Minarti Timur, Minarti itu wanita yang jarang tersenyum. Wajahnya terlihat serius melulu. Entahlah apakah karena ada kata Timur di situ? Lagi-lagi  membahas yang tidak penting kan?
Kita kembali ke Gregoria. Di set kedua, Gregoria yang  baru berusia 21 tahun ini kembali tertinggal. Saya sempat mengeluh dalam hati, mengapa saya harus menyaksikan laga tengah malam dengan hasil sebuah  kekalahan. Skor masih 7-10 bagi keunggulan Blichfeldt yang sebelumnya membuat kejutan dengan menaklukan pebulutangkis tangguh asal Spanyol, Carolina Marin.
Tetapi perlahan-lahan Gregoria terus mengejar. Penilaian saya, Gregoria itu tipe pemain yang senang bermain rally. Menonton Gregoria itu melatih kesabaran kita. Kita merasa seharusnya Gregoria langsung melakukan smash tajam ala Anthony Ginting, tetapi Gregoria terus memukul bola panjang ke belakang.
Namun gaya Gregoria ini sebenarnya dasar dari permainan bulu tangkis. Ketika saya berlatih dengan klub di kampung saya, sang pelatih tidak melatih smash terlebih dahulu tetapi disuruh memukul shuttlecock  sekuatnya jauh ke belakang, capeknya minta ampun.Â
Nah, jika sudah mampu melakukannya lebih lama, baru saya dianggap sudah siap jadi pebulutangkis hebat. Sayangnya, saya gagal.
Kembali ke penampilan Gregoria di lapangan. Kita mungkin berharap Gregoria cepat menghabisi sang lawan, tetapi Gregoria lebih suka menunggu hingga sang lawan akhirnya membuat kesalahan sendiri. Artinya, jika sedang mendukung Gregoria secara langsubg saya sarankan jangan gunakan teriakan kata "habisi, habisi". Akan lama jadinya.
Tetapi gaya Gregoria ini memang akhirnya membuat Blichfeldt kesulitan, kelelahan dan membuat kesalahan sendiri. Hasilnya, Gregoria bisa menyusul dan berbalik unggul 21-16 di set kedua.
Jika saya harus membandingkan, menurut saya pola permainan Gregoria ini mirip dengan gaya Akane Yamaguchi, pebulutangkis asal Jepang. Tetapi harus diakui stamina dan skill Gregoria belum terasah tajam seperti Akane. Karena bukan Blichfeldt saja yang kelelahan tetapi Gregoria juga, bahkan punggungnya harus dirawat setelah set kedua berakhir.
Tetapi anehnya, meski mengalami kesakitan, Gregoria tetap tampil hebat di set ketiga. Terus mendikte Blichfeldt hingga skor 17-10, lagi-lagi Gregoria harus dirawat punggungnya. Tetap berjuang, Gregoria unggul 21-11 atas Blichfeldt sekaligus memastikan tempat di perempatfinal.
****
Minarti Timur tersenyum, dan saya pun ikut tersenyum di tengah malam itu. Saya tak akan bilang bahwa telah lahir tunggal putri setara Susi Susanti, tetapi paling tidak ada yang membuat saya tersenyum, yaitu tunggal putri kita tak gampang kalah.
Meskipun teknik permainannya perlu diasah, tetapi yang saya syukuri adalah perjuangan Gregoria yang tak pantang menyerah. Tubuhnya yang agak "gemuk" menurut saya, memang tidak bisa memantul lincah seperti Akane Yamaguchi ke kiri dan ke kanan. Tetapi dia akan mau terus bergerak mengejar bola dari sang lawan.
Kekuatan ini membuat luas lapangan terasa sempit dibandingkan dengan Blichfeldt yang memang sudah jangkung dan berkaki panjang. Gregoria butuh usaha dua kali melangkah untuk menyamai langkah Blichfeldt, tetapi jika mau terus berjuang di lapangan maka segala sesuatu mungkin. Bukankah pebulutangkis mungil dari Jepang sudah membuktikannya?
Gregoria terus melangkah, sehingga tidak ada bola mudah yang akan sampai di lantai tanpa melalui pukulan raketnya. Jika tangannya terlalu pendek menjangkau, maka bola akan membentur bibir raket baru mendarat di lantai. Bukti bahwa Gregoria sudah berusaha.
Di perempat final, Georgia akan bertemu dengan wakil Denmark lainnya, Line Kjrsfeldt. Bukan lawan yang mudah karena Kjrsfeldt (nama ini saya kesulitan menyebutnya), lebih berpengalaman dan dikenal lebih tangguh dari Blichfeldt.
Saya tentu berharap Gregoria akan kembali menang. Tetapi jika kalah pun, jangan kalah dengan mudah ya Gregoria. Sebagai informasi, Gregoria menjadi satu-satunya tunggal yang tersisa di Denmark Open 2018, setelah kemarin Jonathan Christie kalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H