Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sejak Asian Games 2018, Jojo Makin Sering Disorot Media

19 September 2018   22:13 Diperbarui: 20 September 2018   16:34 2121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jonathan Christie (Foto: Roderick Adrian Mozes/Kompas.com)

Asian Games 2018 sudah secara resmi ditutup lebih dari dua minggu yang lalu namun gaungnya masih didengarkan hingga sekarang. Bukan saja gaung gema pujian terhadap prestasi hebat anak bangsa tetapi juga sorotan terhadap kehidupan para atlet pasca meraih prestasi juga cukup menarik perhatian.

Salah satunya adalah pemberitaan secara terus menerus dari beberapa tayangan infotaiment terhadap peraih medali emas bulutangkis tunggal putra, Jonathan Christie. Terakhir, pebulutangkis yang akrab dipanggil Jojo itu disorot kehidupan pribadinya terutama soal permasalahan cinta. Misteri gandengan tangan dan insta story sampai dibahas sedetail-detailnya.  Pemberitaan Jojo bahkan setara dan sedramatis pemberitaan artis. 

Meski agak gerah, tetapi mau tidak mau harus disadari bahwa inilah dampak dari keterlibatan media dalam ekspose dunia olahraga. Dampak yang melahirkan fenomena selebriti dalam kehidupan para atlet.  Profil Jojo dengan medali emas, wajah ganteng, sexual appeal yang kuat dengan aksi buka bajunya tentu menjadikan dirinya memiliki nilai tinggi untuk komersialisasi media dan bersiap dibedah oleh media.

Namun sontak muncul sebuah pertanyaan menarik, apakah ekspos selebritis  terhadap Jojo itu sudah berlebihan? Tentu saja jawaban ini tidak bisa serta merta dengan menjawab ya atau tidak, tetapi yang paling penting adalah bisa melihat batasan-batasan yang bisa dianggap obyektif dalam melihat persoalan ini. Ada dua hal penting, yang bisa dikemukakan dalam melihat persoalan ini. Media dan Jojo sendiri.

Pertama, ekspose media masih dalam tahap wajar jika tidak membuat Jojo kehilangan fokus. Jojo terkenal? Ya, tetapi harus diingat bahwa status Jojo bukanlah artis yang membutuhkan keterkenalan tetapi seorang atlet yang dituntut untuk terus berprestasi.

Medali emas Asian Games 2018 tentu adalah pencapaian yang harus diapresiasi bagi pebulutangkis yang masih berusia 21 tahun ini. Namun harapan bangsa ini terhadap Jojo belum selesai dengan emas Asian Games tetapi medali emas di ajang yang lebih akbar,  Olimpiade Tokyo 2020 nanti. Harapan yang dipercaya juga  menjadi target dan fokus Jojo secara pribadi. Kita perlu berharap, melalui pemberitaan "keartisan" terhadap dirinya, Jojo jangan sampai kehilangan fokus untuk berusaha menggapai mimpi itu.

Dalam Psychology Today, di artikelnya How Media Use Hurt Athletes, dikatakan bahwa kemampuan untuk fokus adalah fondasi dari begitu banyak hal yang berkaitan dengan kinerja atletik yang konsisten. Tanpa kapasitas untuk fokus yang berkelanjutan, para atlet akan melupakan apa yang mereka kerjakan secara teknis atau taktis selama latihan.

Paling buruk adalah begitu atlet kehilangan fokus, mereka berhenti melakukan apa pun yang sedang mereka kerjakan. Apa ukurannya? Jojo menjadi tidak konsisten dan prestasinya menurun. Kita tentu tidak mau hal ini terjadi pada Jojo.

Bagaimana jika pemberitaan media sudah berlebihan dan mengganggu? Sebuah hal menarik yang pernah dilakukan federasi olahraga di Jepang terhadap ekspose berlebihan media terhadap salah satu atlet wanita mereka, Miki Ando pada tahun 2006 dapat menjadi pelajaran.

Miki Ando adalah juara skating nasional Jepang dua kali dan juara dunia yunior 2004. Dia juga menjadi skater wanita pertama yang berhasil membuat rekor lompatan di kompetisi tersebut. Ando menjadi sangat populer di Jepang dan menerima banyak perhatian dari majalah gosip dan media Jepang lainnya. Namun, prestasi Ando mengalami kesulitan pada tahun 2005 dan 2006, dan liputan media berubah menjadi negatif.

Ketika Federasi Skating Jepang (JSF) memilih Ando untuk menjadi anggota skating wanita olimpiade 2006 di Torino, Italia, media mengatakan bahwa dia tidak pantas untuk pergi ke Torino. Bahkan beberapa hal pribadi Ando dijadikan alasan penilaian penolakan terhadap dirinya.

JSF akhirnya begitu khawatir liputan media akan berdampak negatif bagi Ando ketika dia mempersiapkan Olimpiade, mereka mengirim permintaan tertulis resmi ke beberapa penerbit majalah dan meminta mereka untuk mengurangi liputan mereka terhadap Ando. Mungkin saja langkah dari JSF ini bisa menjadi referensi bagi beberapa organisasi olahraga di Indonesia, jika mengalami hal serupa.

Selain ekspose dari media televisi atau media mainstream, hal kedua adalah hal yang ada hubungannya dengan cara Jojo bersosial media. Sebagai persona sebaiknya Jojo perlu lebih bijak menggunakan sosial media apalagi setelah semakin terkenal.

Sosial media Jojo dahulu tentu tak seramai setelah Jojo berhasil meraih medali emas Asian Games 2018. Follower Jojo meningkat seiring dengan bertambahnya tingkat kekritisan dari penggemarnya terhadap dirinya. Mata dan jemari penggemar secara konstan mengamati dan mengomentari apa yang dilakukannya.  

Hal inilah yang perlu lebih bijak direspon oleh Jojo, karena respon dari penggemar juga ada yang positif dan negatif. Ada yang memberikan dukungan tetapi ada yang membicarakan hal-hal "sampah". Jojo akan serba salah jikalau terlalu sering menanggapi hal-hal tersebut.

 Ada yang pernah mengatakan bahwa jadi selebritis di media itu susah. Berbuat baik saja dicibir, apalagi berbuat negatif. Sebagai atlet yang masih muda dan masih panjang karirnya, Jojo harus lebih berhati-hati dan bijak soal hal ini.

Lalu apa yang dapat dilakukan? Dalam sebuah artikel berjudul The Impact of social media on athletes, dibahas tentang beberapa hal yang dilakukan oleh beberapa atlet di sosial media untuk tetap terkoneksi dengan para penggemar tetapi juga tetap menjaga citra mereka dengan mengalirkan terus inspirasi dan energi positif.

Atlet America Football, J.J Watt, menggunakan profil Twitter-nya untuk mendorong penggemar dari seluruh dunia untuk membantu mengirim pasokan dan sumbangan kepada para korban bencana alam saat terjadi badai di Amerika. Menjadi atlet yang mulai terkenal, tindakan Jojo meski hanya di sosmed adalah sebuah teladan. Jojo dapat menjadi teladan dari dalam dan juga di luar lapangan dengan terus mengontrol kehidupan bersosmednya.

Artinya apa? Media juga dapat menjadi alat untuk memotivasi diri bukan sekedar memberikan dampak negatif, dan harus terus disadari bahwa publisitas telah menjadi bagian besar dari olahraga untuk waktu yang lama. Media akan selalu mengamati, mengkritik, dan mengawasi setiap gerakan atlet, mempengaruhi pemain dengan cara yang positif maupun negatif.

Sampai di titik ini, saya sampai pada sebuah konklusi bahwa meski butuh bimbingan dari tim kepelatihan, pilihan untuk menghadapi ekspos media ada di tangan Jojo sendiri. Jojo dapat menggunakan ekspos media sebagai tantangan atau sebagai dorongan untuk dapat berprestasi lebih bagus.

Atau dalam kata lain, untuk menjadi semakin sukses, Jojo dapat menggunakan momentum ini untuk terus bersinar. Harapannya--harapan kita semua, selain diekspos juga kehidupan pribadinya tentu kita  berharap Jojo dapat terus berprestasi membanggakan Indonesia. 

Sukses terus Jojo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun