Ada dua hal menarik  yang terkandung dalam pernyataan kontroversial dari sosiolog dan antropolog terkenal asal Brasil, Gilberto Freyre yang  mengatakan bahwa perbudakan yang  menciptakan sepak bola Brasil.
Pertama,  perbudakan menghasilkan ras unggul pemain bola Brasil sebagai  hasil perpaduan dari bangsa Eropa yang memiliki kemampuan rasio tinggi dan bangsa Afrika dengan kekuatan fisik dan kecepatan yang tinggi. Kedua, perbudakan  melahirkan kreativitas di lapangan bola sebagai salah satu upaya bertahan hidup di tengah-tengah kesulitan.
Di dalam film berjudul Pele: Birth of Legend, yang menceritakan tentang perjalanan Pele menjadi pesepakbola, kehidupan seperti itu diceritakan dengan begitu jelas. Pele dilecehkan oleh anak dari bangsawan berkulit putih yang mempekerjakan ibunya sebagai binatu. Hal itu semakin mendorong Pele untuk bangkit dari kemiskinan dan akhirnya menjadi pahlawan bagi bangsanya di Piala Dunia.
Menjadi semakin menyentuh saat potret kemiskinan dari Pele disorot dari bermain bola dengan tidak bersepatu bahkan harus menjual kacang saat remaja untuk membeli sepatu dan saat remaja menggunakan buah mangga untuk berlatih sepak bola.
Kelahiran pemain bola dari perjuangan kemiskinan seperti menjadi wajah dari sepak bola Brasil sesungguhnya. Pemain bola yang bersinar dan dikenal lahir dari proses seperti ini menjadikan rakyat Brasil semakin riang gembira merayakan sepak bola sebagai sebuah bentuk kebebasan dan keberhasilan melepaskan diri dari perbudakan dalam berbagai bentuk.
***
Mengingat pernyataan Freyre membuat saya mau tidak mau menghubungkannya dengan Richarlison, pemain berusia 21 tahun yang merebut perhatian penikmat sepak bola dalam jeda internasional lalu. Tampil dalam debutnya bersama Selecao, striker Everton ini mampu menjadi motor dari kemenangan telak Brasil asal El Salvador, 5-0.
Torehan dua gol dan dua assist membuat Richarlison lantas menjadi buah bibir. Mimpi para pesepakbola Brasil untuk bermain bersama Selecao sudah berhasil diraih oleh Richarlison, bahkan sudah mampu mencetak dua gol.
Pelatih Brasil, Tite dianggap tidak keliru memanggil Richarlison. Musim ini saja di ketatnya Liga Inggris, dari tiga pertandingan bersama Everton, Richarlison telah menyumbangkan tiga gol. Harga mahal sejumlah 50 juta pound (953 miliar rupiah)-- sejarah pembelian termahal yang digelontorkan Everton dianggap setimpal dengan kemampuan yang dimilikinya.
Lebih dari itu, Richarlison juga meninggalkan cerita perjuangan ala Freyre untuk mencapai titik ini. Lahir dari ayah yang hanya berprofesi sebagai tukang batu, Richarlison berjuang menjadi pesepakbola dari kota Nova Venecica. Kota ini dikenal bukan saja sebagai  suatu daerah kumuh tetapi juga kampung narkoba.
Semua tidak menjadi lebih mudah bagi Richarlison, namun bertambah sulit. Selain sering ditolak oleh berbagai klub, Richarlison juga kerap kehabisan biaya untuk mengejar cita-citanya. Tak mau menyerah, Richarlison mengerjakan banyak hal untuk mendapatkan sedikit uang.
"Aku dulu sering berjualan es lolipop dan permen di pinggir jalan. Aku juga sempat kerja di tempat cuci mobil. Sebelum pergi ke sekolah siang hari, paginya aku bekerja dulu. Sesekali, aku juga ikut kakek pergi ke ladang," kenang Richarlison.
Sebuah kalimat bijak yang mengatakan bahwa selalu ada jalan keluar bagi yang mau terus berusaha terbukti di kehidupan Richarlison. Ditolak oleh berbagai klub, pada usia 16 tahun, Richarlison bergabung dengan klub lokal Real Noroeste. Setelah dua tahun bersama Noroeste, Richarlison bergabung dengan Atletico Mineiro dan tak lama kemudian bergabung dengan klub papan atas Seri A Brasil, Fluminense.
Tak perlu lama bagi Richarlison untuk mencuri perhatian pencari bakat dari Eropa. Setahun di Fluminense, pada 8 Agustus 2017, si penjual es itu akhirnya merumput di liga yang dianggap paling menarik di Eropa, Liga Premier bersama  Watford hingga akhrinya Watford tak kuasa menahan godaan gelontoran uang untuk melepasnya dan menjadi rekor pembelian termahal Everton sepanjang masa.
***
Sampai sekarang Richarlison bahkan hampir tak percaya telah berada di titik ini. Rakyat Brasil yang terpukau dengan penampilannya bahkan membandingkannya dengan Roberto Firmino maupun Gabriel Jesus.Â
Tentu saja tak bisa langsung menilai bahwa Richarlison yang baru berusia 21 tahun ini lebih baik dari Firmino atau Gabriel Jesus di posisi penyerang tengah bagi timnas Brasil. Â
Pelatih timnas Brasil, Tite, menilai kecepatan, kengototan dan kemampuan kala melakukan tusukan ke depan membuat dan teknik individual Richarlison itu benar-benar dibutuhkan oleh Selecao. Selecao tampil lebih apik dengan Richarlison, bahkan duetnya dengan Neymar terlihat apik.
Namun kita tidak tahu, sampai kapan sinar Richarlison itu tetap terang benderang, karena banyak juga pemain yang digadang-gadang sebagai pemain masa depan Brasil sekarang hanya tertinggal namanya. Meskipun hal itu akan terjadi, Richarlison tetap menginspirasi dan bahkan mendorong banyak anak yang mengalami hal serupa dengannya dapat segera bangkit mengejar kesuksesan.
"Saya telah belajar, bahwa Anda butuh kesabaran, ketekunan, dan keyakinan pada orang-orang untuk mengejar apa yang menjadi cita-citamu selama ini," ujar Richarlison. Ungkapan yang lahir murni dari sebuah perjuangan. Sungguh benar apa yang dikatakan oleh Freyre.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H