Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memahami Inneke, Memahami Dilema Seorang Istri

22 Juli 2018   16:36 Diperbarui: 23 Juli 2018   08:19 3430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keluar dari Gedung KPK, wajah Inneke tampak pucat, matanya tampak sembab. Entah berapa lama dia menangis saat diinterogasi KPK. Bibirnya kelu tak bisa bicara sama sekali, bukan bisu tapi situasi yang dia hadapi amatlah sulit.

Ya, Inneke Koesherwati diperiksa KPK sebagai saksi kasus suap fasilitas mewah dan jual beli izin di Lapas Sukamiskin. Dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT), KPK menangkap suami Inneke, Fahmi Darmawansyah dan Kalapas Sukamiskin, Wahid Husen.

Sesudah itu "dunia penghakiman" dimulai bagi seorang Inneke, baik terdengar dan terlihat olehnya ataupun tidak. Inneke dianggap sebagai perempuan yang melakukan tindakan hina, tercela bahkan ada yang membawa masa lalu Inneke sebagai mantan bintang fim panas Indonesia ke dalam situasi ini.

***

Mari kita urutkan siapa Inneke dan apa yang kemungkinan dilakukannya.

Inneke adalah istri dari Fahmi Darmawansyah, tahanan lapas Sukamiskin dalam kasus suap ini terkait pengadaan monitoring satelit di Bakamla. 

Pengadilan Tipikor memvonis hukuman 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan bagi Fahmi dan resmi ditahan sejak Mei 2017. 

Peristiwa Mei 2017 itu seharusnya menjadi bahan refleksi bagi keluarga kecil Inneke untuk menjadi lebih baik. Inneke memiliki dua orang anak dari Fahmi. Saatnya untuk merenung agar berhati-hati dalam bertindak karena berdampak pada masa depan kehidupan keluarga.

Namun setelah setahun di tahanan, Fahmi berulah. Kemarin, Fahmi ditangkap tangan melakukan suap fasilitas mewah dan jual beli izin di Lapas Sukamiskin.

Menurut informasi KPK, untuk mendapatkan fasilitas istimewa, Fahmi berani untuk memberikan sejumlah uang dalam nilai yang besar yakni sekitar 200 sampai 500 juta rupiah pada Kalapas, Wahid Husen.

Apa peran Inneke? Untuk menjawabnya kita bisa membaca kronologi penangkapan Inneke.

Inneke diamankan di kawasan rumahnya di kawasan Menteng Jakarta Selatan sesudah KPK melakukan OTT di Sukamiskin.

"Setelah dari Bandung kita menuju Jakarta. Kita menyambangi rumah IK di kawasan Menteng, dan mengamankannya pukul 01:00 WIB untuk menjalani pemeriksaan," ujar Laode M.Syarif, wakil ketua KPK.

Saat tim KPK menemukan uang sejumlah Rp 139.300.000 di sel Fahmi dan menemukan catatan terkait sumber uang, maka Inneke bisa dianggap bermain dalam dua peran, baik secara masing-masing atau melakukan keduanya sekaligus. Pertama, sebagai penyedia uang atau supplier dan sebagai kurir atau pembawa uang ke lapas. Bagi siapa? Suaminya, orang yang dicintainya. Situasi Inneke bukanlah situasi yang mudah.

***

Sampai di sini, saya akan bercerita sedikit tentang cerita seorang teman wanita yang memiliki suami yang juga menjadi tahanan di lapas, sebut saja nama teman wanita itu Mira.

Suami Mira ditahan bukan karena kasus korupsi tapi kasus Narkoba. Suaminya divonis 2 tahun penjara.

Setiap kali Mira membesuk sang suami, Mira pulang dengan berurai air mata. Mengapa? Karena berulang kali pula Mira mendengar suaminya berkata bahwa Mira adalah istri yang tak berguna karena tak berupaya agar sang suami lebih cepat keluar dari penjara.

Lebih meyakitkan lagi adalah apapun yang dibawa ke Lapas dianggap suaminya tak pernah cukup membuat suaminya nyaman di Lapas. Makanan dianggap tak enak, pakaian dianggap bukan pakaian yang bagus dan lain sebagainya.

"Siapa yang tak mau suami bahagia meski di dalam penjara" kata Mira bersedih.

"Pernah suatu saat, dia meminta untuk dibawakan Narkoba,...hmm...jika punya uang saya akan membelikannya..." ujar Mira lirih.

Tak seperti Fahmi dan Inneke, Mira dan suaminya memang bukan dari keluarga yang berkecukupan.

"Tak takut kamu ditangkap...." tanya saya. Mira terdiam cukup lama, matanya mulai berkaca-kaca.

Agamanya mengajarkan bahwa dia harus taat pada suaminya, meski seharusnya di antara itu, takut akan Tuhan adalah yang terutama. Cinta memang terkadang meniadakan hal di antara itu. 

Membesarkan anak sendirian, melewati dua kali lebaran dengan suami berada di penjara bukanlah hidup ideal yang diinginkan oleh Inneke. Membawa anak-anak untuk mengunjungi Fahmi di Sukamiskin dianggap Inneke sebagai mudik lebaran. Bahagia saat pergi, namun penuh kesedihan saat pulang.

Seperti Mira, Inneke juga berharap Fahmi mendapatkan fasilitas yang baik di Sukamiskin. Sebagai istri mereka juga takut jika harus melakukan tindakan melawan hukum untuk membahagiakan suami. Namun jika tidak demikian, apa ukuran cinta bagi mereka? Logika mereka terkadang ditaklukan oleh janji untuk selalu bersama dalam suka dan duka.

Sesudah ditangkap, Inneke menangis. Entah jenis tangisan yang mana. Tangisan Inneke bisa saja adalah tangisan penyesalan. Namun tangisan itu juga bisa dikarenakan kesedihan karena sang suami tidak mendapat kebahagiaan di penjara seperti yang diinginkannya.

Seharusnya tahun depan, Inneke boleh berharap untuk merayakan Lebaran dengan sang suami apabila Fahmi mendapatkan keringanan hukuman, namun sepertinya harapan itu telah kandas dengan kasus ini. Hari-hari Inneke kembali suram.

Mira? Mira sementara pulang ke kampungnya karena sang mertua menganggap Mira tak sanggup menjadi istri yang baik bagi anaknya.

***

Suatu hari di waktu lampau, oma (nenek) membariskan cucu-cucunya yang sudah beranjak dewasa, semua laki-laki sebelum makan. Sebelum berdoa makan oma berkata, "Jangan pernah memberi makan anak dan istrimu dari uang tak halal. Jika kalian melakukannya, kalian adalah lelaki brengsek" ujar oma.

Brengsek..ya brengsek....

Sedangkan untuk cucu yang perempuan, oma bernasihat singkat. 

"Jika suamimu membawa uang banyak padamu tak seperti biasanya, tanyakan asal uang ini. Jangan diam saja" ujar oma yang telah meninggal belasan tahun lalu itu.

Jangan diam saja, daripada harus menangis sepanjang malam. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun