Perempuan Amerika berkacamata setinggi kurang lebih 180 cm dengan rambut blonde itu tak banyak tersenyum. Bahkan raut wajahnya sesekali terlihat muram saat potongan video dari film dokumenternya tentang perbudakan manusia di laut Asia Tenggara berjudul "Ghost Fleet" mulai ditayangkan selama enam menit.
Apa sebabnya? Karena perempuan itu melihat dan merasakan langsung kepedihan korban, kesedihan keluarga dan tangis air mata ketika korban perbudakan itu dipertemukan kembali dengan keluarga setelah sekian lama hilang tanpa diketahui dan terlunta-lunta di laut.
Perempuan itu bernama Shannon Service, sutradara dari film dokumenter tersebut.
Potongan film dokumenter "Ghost Fleet" itu menjadi pembuka yang hebat dari workshop Jurnalisme Investigasi Perdagangan orang yang digagas oleh Konsulat US di Kupang. Shannon Service khusus didatangkan Konsulat US untuk memberikan Workshop berdasarkan pengalamannya kepada wartawan di Kota Kupang.
Bukan tanpa alasan Shannon Service yang dipilih. Di ranah jurnalisme investigasi, nama Service sudah dikenal di dunia. Pemilik gelar master di bidang jurnalistik dari Universitas California Berkeley ini memiliki pengalaman hampir sepuluh tahun sebagai jurnalis investigasi dan hasil jurnalisme investigasinya telah ditayangkan HBO, PBS dan FSTV.
Service dengan berani mengambil resiko melakukan berbagai liputan penuh tantangan dan menelusup masuk di jaringan perbudakan, jaringan perdagangan manusia, hingga daerah konflik Irak, Palestina dan Israel.
Pertama, from issue to story to funding. Di sesi ini Service menjelaskan kepada para peserta untuk dapat membedakan antara apa itu issue dan apa itu story. Issue bicara tentang masalah yang lebih luas sedangkan story adalah kekuatan dari investigasi tersebut.
"Story about human being and journey," ujar Service.
Dalam investigasi perbudakan dan perdagangan manusia di Thailand, sosok Patima menjadi kekuatan Story yang diangkat oleh Shannon Service. Patima adalah perempuan Thailand yang mengelola lembaga swadaya untuk membantu para nelayan yang berhasil lolos dari perbudakan di laut
Service menjelaskan bahwa kekuatan story menjadi penting karena lembaga atau siapapun yang akan membiayai kita akan memastikan bahwa kita mempunyai story bukan hanya issue.
Kedua, what is a reporting plan? Di bagian kedua ini Service menerangkan bahwa jurnalis investigasi harus memiliki tiga hal yaitu orders of interview, evidence gathering/proof dan security: for yourself and sources.
Jurnalis mesti memiliki urutan wawancara dengan daftar pertanyaan yang lengkap untuk mendapatkan bukti dan memastikan saat melakukan itu keselamatan sang jurnalis dan juga narasumber mesti diperhatikan dan diutamakan.
"For this step you should learning by doing," ujar Service.
Ketiga, creating reporting plan. Di sesi ketiga ini, Service membagi peserta menjadi tiga kelompok dengan tujuan masing-masing grup mencoba mendiskusikan tentang isu apa yang bisa diangkat sebagai rencana investigasi.
Ada 6 pertanyaan pembantu untuk merencanakan sebuah rencana investigasi. Pertama, What's the story? Kedua, Who might fund it/Why? Ketiga, Who to approach when? Keempat, How will you gather evidence? What kinds? Kelima, How will you keep yourself and sources safe? dan terakhir, What are the questions you'll ask and what do you hope to uncover?
Menarik karena dalam mendiskusikan isu, ketiga grup mengambil 3 isu yang berbeda. Ada yang ingin mengungkap tentang isu penyelundupan drugs di daerah perbatasan antara Timor Leste dan Indonesia, tentang kasus perbudakan TKI asal NTT dan terakhir tentang indikasi mafia para imigran yang "terjebak" di Timor, NTT.
Meskipun terasa singkat workshop bersama Shannon Service ini sangat bermanfaat. Dibantu oleh Esti Durahsanti dari pihak Konsulat US Surabaya sebagai penerjemah, peraih penghargaan investigasi Edward R. Murrow dan The Knight Award untuk laporan sains dan lingkungan terbaik ini mampu mentransfer ilmunya dengan presentasi yang mudah dicerna dan aplikatif.
Shannon Service juga berulang kali menjelaskan bahwa menjadi seorang jurnalis investigasi bukan pekerjaan yang mudah. Pekerjaan ini bisa membuat jurnalis harus berhadapan dengan sistem yang korup, sistem yang kejam dan mungkin tidak berperikemanusiaan. Jurnalis membutuhkan lebih dari sekedar pengetahuan atau teori untuk mampu melakukan sebuah investigasi.
Di rehat sesi, Esti Durahsanti secara tersirat menjawab alasan bagaimana Service mampu menjadi jurnalis investigator yang hebat.
Esti bercerita Shannon Service pernah ditanya di sebuah workshop tentang pengalaman yang paling berkesan baginya saat membuat investigasi perbudakan nelayan di Thailand. Shannon terdiam cukup lama dan tanpa sadar meneteskan air mata.
"Kisah tentang seorang korban perbudakan yang ditolong oleh Shannon yang bersikeras ingin bertemu dengan orang yang menjual dirinya hanya untuk memberi ampunan tanda 'kebebasan' paripurna dirinya. Hal itu sungguh menggugah Shannon," cerita Esti.
Terlalu banyak kisah inspiratif kemanusiaan yang menjadi energi besar untuk mendorong Service untuk melakukan sebuah investigasi. Service bukan sekedar membuat investigasi, dia memberikan hatinya untuk kemanusiaan melalui kegiatan jurnalisme investigasinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H