"Trauma tidak bisa diobati dan kita juga tidak tahu cara untuk mengobatinya" ujar Abe, sambil mengangkat bahunya.
*****
Proses film ini memang dimaksudkan untuk menjadikan karakter tokoh Siko dan keluarga sebagai medium refleksi terhadap konflik tahun 1999 tersebut.
Setiap orang yang menonton-- yang didominasi anak-anak muda Kupang dipinta Abe agar dapat menginterpretasikan film itu dalam berbagai bahasa. Namun Siko menjadi gambaran jelas bahwa ketika konflik itu terjadi, maka jelas ada korbannya, dan yang paling memilukan jika itu dialami oleh anak-anak.
Realitas Siko di jaman sekarang tampil dalam wujud berbeda dalam konteks NTT, persoalan seperti human trafficking telah secara langsung atau tidak langsung menyiratkan hal serupa, jika terlambat ditangani, yang tersisa adalah trauma-trauma dengan bekas yang amat dalam di sosok-sosok yang sangat rentan mengalaminya--termasuk anak-anak.
Di penghujung cerita, scene memperlihatkan Siko dan Obi yang tetap asyik bermain layang-layang dengan tumpukan batu dan bekas darah yang baru setiap harinya.
"Mengapa harus menggunakan gambaran layang-layang?" tanya seorang penonton Siko kepada Abe.
"Hmm.. layang-layang dapat terbang tinggi di udara, tetapi talinya dapat kita kontrol dengan mudah. Kapan kita ulur dan kapan kita akan putuskan " jawab Abe datar.
Benarkah? Mungkin....
Salut dan Sukses buat Abe dan Komunitas Film Kupang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H