Adegan darah bekas korban tewas yang ditumpuk batu karang dan bunga kertas sekejap membuat suasana menjadi diam. Lalu munculah tiga orang anak yang ingin bermain layang-layang menyusuri jalan melewati tumpukan batu tanda ada yang meninggal itu. Siko nama salah satu dari anak-anak tersebut.
Siko bermain namun disekitarnya hal tersebut menjadi sesuatu yang lumrah. Sembari bermain Siko sering menemukan selongsong peluru yang akhirnya digunakannya bersama adiknya Obi untuk "memanggil" angin dengan cara ditiup.
Kerasnya kehidupan karena konflik pasca referendum 1999 di Timor Leste (Timor-Timur) dirasakan dan dilihat mereka secara langsung. Mereka tetap bermain tetapi banyak tanya yang mungkin belum terjawab hingga sekarang.
Meski berlangsung pendek (hanya sekitar 20 menit), tetapi sisi emosional yang sangat kental mengalir melalui setiap segmen yang ditampilkan di Siko.
Selain sosok Siko yang bermain di tengah situasi yang tidak ada satupun anak di dunia inginkan, kehidupan Siko di dalam keluarga yang menyisakan berbagai kisah sentimental tak luput diekspos dalam film ini.
"Apa scene yang paling menyentuh menurut Abe sebagai sutradara?" tanya saya kepada Abe seusai pemutaran perdana film pendek ini pada 22 Juni lalu di Aula Museum Daerah Provinsi NTT.
Abe sempat terdiam. "Scene di ruang makan gelap, ketika Siko dan Obi di suatu malam tertidur dan ditinggalkan oleh sang ibu di tengah samar-samar bunyi tembakan di luar rumah. Ibu mereka akhirnya tak pernah kembali lagi" kata Abe lirih.
Dalam publikasinya, film ini disebut sebagai film fiksi, tetapi sebenarnya sosok "Siko" sangat dekat dengan pengalaman Abe, selaku sutradara yang saat kecil, tinggal telah mengalami masa konflik di Timor-Timur.
"Ada hal yang tidak terselesaikan dalam sebuah konflik. Dan jika kita melihat dari perspektif seorang anak, ingatan seperti apa yang akan melekat dan menjadi bagian dirinya ketika peristiwa kehilangan nyawa akrab menjadi teman bermain mereka" kata Abe, ketika menjelaskan hal yang ingin dia sibak melalui Siko.
Abe menambahkan bahwa Siko dapat menjadi pengantar untuk bisa belajar memosisikan anak-anak ketika konflik itu terjadi.
Gambaran Siko ingin memadahkan bahwa peristiwa itu meski sudah berlalu, tetapi rekonsiliasi belum selesai dilakukan. Rekonsiliasi atau pemulihan yang paling penting adalah bagaimana menyembuhkan trauma dari anak-anak yang terlalu sering melihat nyawa yang hilang saat masa bermain atau masa kecil mereka.