Dorongan untuk meninggalkan rutinitas dan kebiasaan harian sebagai seorang pekerja sesekali dirasakan oleh saya. Meninggalkan itu bagi beberapa orang dirasakan sebagai pelarian, tetapi bagi saya terkadang pelarian yang dimaksudkan bertujuan untuk mencari Kesenangan sederhana. Sebuah kesenangan untuk mendapati sebuat  tempat untuk merenung, tempat untuk mendapatkan energi baru, sebuah tempat untuk mengembalikan makna hidup ke tempatnya semula. Kesenangan sederhana di Puru Kambera.
************
Hari masih pagi di Waingapu, tetapi saya dan beberapa teman mulai menyiapkan diri untuk pergi ke Puru Kambera, sebuah pantai eksotis di tanah Humba atau Sumba. Bukan saja makanan kecil dan minuman tetapi juga kain bermotif Sumba, salah satu ciri khas yang sayang jika terlewatkan ketika kami akan berfoto di tanah ini.
"Bagaimana dengan kendaraan?" tanya saya. "Sudah ada, punyanya kaka Makhlon" sahut Umbu Ferdy, seorang teman yang memang berdomisili di Sumba Timur.
Jarak sekitar 25 Km dari Ibu Kota Kabupaten Sumba Timur ini ke Puru Kambera memang tak terlampau jauh, tetapi pilihan untuk berjalan kaki sekaligus mengharapkan kendaraan umum ke sana bukan sebuah pilihan masuk akal. Kita perlu menggunakan kendaraan pribadi atau menyewanya.
Tak berapa lama kemudian kami sudah di dalam mobil, melaju ke Puru Kambera. Waktu sejam itu tidak terasa lama karena kami memanfaatkan waktu untuk bercerita tentang banyak hal. Termasuk membicarakan tentang pesona wisata di Sumba Timur yang tak pernah habis, muncul satu persatu.
Termasuk tentang bagaimana pesona wisata di Kabupaten kecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini berhasil dipromosikan melalui sebuah film berjudul Pendekar Tongkat Emas yang disutradarai oleh Mira Lesmana. Salah satunya juga bukit Wairinding, yang sempat saya tulis melalui tulisan berjudul Pesona Bukit Wairinding, Umbu Aga dan Kesadaran Kita
" Nah itu dia pantainya" tunjuk Umbu ke kejauhan setelah mobil kami mulai menuruni bukit. Masih sekitar 5-6 Km lagi. Dari kejauhan, pantai itu memang terlihat indah dengan jejeran Pohon Cemaran yang tersusun rapi.
Benar saja, tak lama kemudian kita sampai di padangg Savana yang dimaksudkan. Padang itu cukup luas dengan rumput dan pohon-pohon yang mulai menghjau. Dari kejauhan pohon dan rumput itu seperti berbincang ramah dengan langit dan laut yang biru. Sedangkan awan putih seperti menari ikut riang. Ah, indah.
"Saya lebih senang jika dia mulai mengering dan berwarna kuning keemasan dan sedikit kecoklatan" Â tiba-tiba kaka Makhlon mulai bersuara.
"Apa yang berwarna kecoklatan kak? tanya saya.
"Rumput-rumput disini, di atas bulan Juli, pasnya September Oktober"
" Batu Karang akan menyembul , terlihat eksotis seperti Afrika" tambah Kaka Makhlon.
Saya mulai membayangkan , seeprtinya memang akan bertambah indah, minimal memperlihatkan sisi lain dari tempat ini. Bagaimana jika rumput itu akan kering, batu-batu  karang yang unik akan menyembul dan akan tampak kontras sekali dengan warna birunya langit dan laut yang ada.
Kami seperti melupakan penatnya pekerjaan kantor , dimana kami terjebak di rutinitas yang terkadang membuat kami bekerja hanya untuk menunggu kapan liang kubur ukuran 2 x 1,5 m memanggil kami masuk.
Kesenangan Sederhana di Puru Kambera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H