Gabriel Jesus cepat mengambil bola dari gawang Loris Karius, tangannya menunjuk ke arah stadion. Lautan bendera biru semakin berkibar di Etihad seiring Pep Guardiola yang berteriak di pinggir lapangan sambil mengepalkan kedua tangannya. Baru menit ke-2, dan Manchester City sudah unggul 1-0.
Namun sayang seribu sayang. Itulah satu-satunya kegembiraan yang dapat diekspresikan striker City pada pertandingan itu, selain itu kesedihanlah yang akhirnya menyelimuti stadion saat saat itu. Biru menjadi kelam, City kalah 1-2 dari Liverpool dengan agregat menjadi 1-5. Telak.
*******
Meski tertinggal  3 gol dari laga leg pertama, Manchester City  tampil penuh percaya diri pada pertandingan ini. Pep Guardiola merubah formasi 4-3-3 dan menampilkan formasi 3-5-1-1, dengan menempatkan Gabriel Jesus sebagai ujung tombak ditemani oleh Raheem Sterling. Sedangkan Liverpool tampil seperti biasa, 4-3-3, dengan menempatkan Sadio Mane dan Mo Salah mengapit Roberto Firmino di depan.
Formasi ini berhasil membuat City menekan Liverpool hampir sepanjang pertandingan. Lini tengah yang menumpuk membuat City memang cukup bebas memainkan bola sesudah gol cepat dari Gabriel Jesus. Statistik bahkan menjelaskan hal itu dengan begitu spesifik. Sepanjang pertandingan ball possesion City mencapai hingga 68 persen dengan 20 peluang menciptakan gol. Berbanding 32 persen dan hanya 5 peluang gol dari Liverpool.
Namun data tinggalah data, Liverpool sekali lagi membuktikan bahwa bukan tim yang menguasai bola lebih banyak dengan lebih banyak peluang yang akan menang, namun tim yang bisa mengkonversi peluang itu menjadi gol lah yang pantas menjadi pemenang.
Lalu sebenarnya apa faktor yang membuat Manchester City kalah ketika sepertinya sudah mengusahakan semaksimal mungkin di Etihad Stadium?. Paling tidak ada 3 faktor yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan kemenangan Liverpool atas City ini.
City akan mengandalkan Fernandinho atau De Bruyne untuk mengalirkan bola dari belakang ke depan. Pintarnya Klopp adalah Klopp tahu cara untuk menekan pergerakan aliran bola ini. Biasanya Firmino, Salah/Sane akan menutup ruang gerak dari bek belakang atau kiper sebelum bola sampai ke Fernandinho atau De Bruyne.
Di sisi lain Milner atau Chamberlain akan bergerak cepat untuk segera menutup bola yang biasa diarahkan ke depan atau sayap. Cara ini akan memaksa City bermain dengan bola-bola panjang yang faktor kesalahannya akan semakin besar. Kecepatan dan mobilitas pemain Liverpool menjadi kunci dari strategi ini, yang beberapa kali membuat pasukan City menjadi frustrasi dan membuat kesalahan sendiri.
Lalu ketika terjadi kesalahan, maka bola akan diarahkan ke Sane, Firmino, Chamberlain dan tentunya Salah yang memiliki kecepatan dan penyelesaian mematikan. Karena sering berhasil melakukan ini (3 kali kemenangan), beberapa pihak menganggap anti Guardiola musim ini adalah Jurgen Klopp.