"Jika sudah dewasa, berkeluarga, jangan lupa pulang ke rumah" ujar ayah yang sering kami panggil dengan sebutan Papa, sambil tersenyum. Sebuah pesan yang disampaikan Papa, puluhan tahun yang lalu, ketika kami sekeluarga sedang berpiknik bersama, di salah satu pantai indah di barat pulau Timor, bernama Pantai Tablolong.
Itu adalah salah satu pesan paling mencuri perhatian saya dari begitu banyak pesan dan nasihat yang saya dengar darinya selama hidup. Pesan lain yang saya paling ingat lagi adalah, carilah istri yang berambut panjang dan berwajah seperti ibumu. Kedengaran aneh dan menggelitik, tapi sebetulnya sarat makna.
Papa memang senang menginisiasi kegiatan seperti piknik ke pantai ini dilakukan, apalagi ketika beberapa orang kakak pulang liburan dari studi mereka di luar NTT, provinsi dimana kami berasal. Keluarga kami, keluarga besar, saya adalah anak ke-7 dari tujuh bersaudara.
Papa memang sepertinya mengatur agar piknik bersama itu bukan sekedar hanya makan bersama, bermain dan bercengkrama tetapi mendisain agar dalam sukacita jalan-jalan itu, Â kehangatan keluarga dapat menggambarkan makna yang lebih dalam.
Misalnya ketika ada perahu nelayan yang semakin menjauh dari pantai, Papa mulai mengatakan maknanya meski terdengar sederhana. Seperti jika menuntut ilmu jauh dari kampung, dan juga ekerja dan ingatlah  kembali untuk membahagiakan keluarga. Ketika matahari terlihat akan tenggelam atau Sunset, Papa akan bicara untuk selalu mengucap syukur dalam segala hal.
Sekarang hampir dari kami semua sudah sibuk bekerja dan mengurus urusan keluarga masing-masing. Seiring waktu, pesan Papa untuk rindu pulang ke rumah itu semakin saya pahami.  Papa sebenarnya tidak bermaksud mengatakan rumah dalam konteks  ini  sebagai rumah fisik dalam arti gedung, tetapi sebenarnya rumah dalam arti hubungan, hubungan antar sesama anggota keluarga. Rumah fisik boleh saja terpisah karena beda ruang dan waktu tetapi dalam hubungan antar anggota keluarga harus tetap terjaga dan terpelihara.
Filosofi Papa ini mengingatkan saya akan apa yang ditulis oleh Viktor Frankl, seorang filsuf  asal Jerman. Frankl dalam ironi penderitaannya menceritakan bahwa ketika ia terpisah dengan sang istri ketika sedang menjalani hidup di kamp konsentrasi Hitler di masa perang dunia kedua, mengusahakan untuk selalu berbincang-bincang dengan istrinya di dalam kepalanya.
Istri tercinta Frankl sedang berada di kamp yang lain, kamp konsentrasi perempuan. Mereka sebenarnya terpisah dalam ruang dan waktu, namun dari segi "hubungan" mereka tetap mesra. Meski kemesraan itu dilakukan dengan cara yang tak biasa.
Banyak orang yang mengalami keadaan seperti Frankl, akan merasa frustasi akan masa depannya. Mereka melihat kehidupan di titik ini sebagai sesuatu yang ambigu dan dipenuhi dengan absurditas. Tetapi dalam kondisi yang seperti itu Frankl tidak ingin terjebak dalam absurditas dunia, Frankl ingin menjadikannya menjadi lebih sederhana tetapi sarat makna. Frankl, tahu bahwa dalam kesederhanaan itu kebahagian itu akan terpancar dengan sendirinya.
Memaknai arti pulang ke rumah ini, bulan Februari lalu, saya bersama beberapa anggota keluarga memilih untuk berlibur sejenak dari kepenatan bekerja. Kami memilih ke Waingapu, Sumba Timur, di tanah humba yang tak pernah habis menawarkan pesona keindahannya.
Sebenarnya kami ingin mengulang nostalgia masa kecil kami ketika diajak berpiknik ke pantai oleh orang tua karena itu kami meminta untuk dicarikan tempat wisata yang indah tetapi dengan suasana pantai. "Puru Kambera...." ujar kak Rambu Eti, seorang rekan sekaligus guide kami di sana merespon keinginan kami.
Jarak Puru Kambera itu kurang lebih 25 Km arah timur dari kota Waingapu. Terlalu banyak titik yang memperlihatkan keindahan pantai yang terletak di Desa Hambapraing, Kecamatan Knatang itu, baik titik sebelum pantai maupun di pantai Puru Kambera itu sendiri.
"Indah sekali...." kata kami serempak. Sebagai keluarga, kami sadar kami jarang mempunyai momen untuk menunjukan kekompakan kami karena kesibukan masing-masing, dan akhirnya di Puru Kambera hal itu mulai nampak kembali.
Sesaat kemudian kami meluncur ke pantai Puru Kambera. Pantai dengan hamparan pantai pasir berwarna putih berkilau ini sangat indah dengan  kondisi air laut yang jernih pula dengan biru langit yang terpantul sempurna di permukaan air. Â
Kami antusias untuk menikmati ciptaan Tuhan ini dengan berfoto, mandi, tidur, bermain, dan melakukan aktivitas lain dengan bayangan pohon cemara yang menaunginya di pantai yang masih alami ini.
Kami sangat bahagia saat itu, selain dapat berekreasi di pantai yang sangat indah, kami juga bisa saling terbuka satu sama lain. Cerita tentang diPHK dari kantor, pindah ke kantor baru, anak yang sudah lama sakit, menjadi cerita yang semakin mempereratkan kami.
Bukankah kebahagiaan itu didapatkan ketika kehangatan keluarga membuat kami merasa at home,sehingga menelurkan sikap saling mendengar, saling hormat, saling terbuka dan juga saling mendukung satu sama lain?
Ketika ini sudah tercipta, hidup kita akan semakin bermakna dan disitulah kehangatan keluarga bersemayam. Kehangatan yang  tidak pernah pernah didapatkan sendirian. Kehangatan yang selalu berada di dalam relasi dengan orang lain, relasi antar anggota keluarga.Â
Kehangatan yang juga harus dibagi bersama orang terdekat yang kita cintai. Kehangatan itu, yang  seperti kata Papa, mampu membawa kita kembali rindu untuk pulang ke rumah. Itulah kehangatan keluarga sesungguhnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H