Seringkali saya mengamati, perbelanjaan menyambut sukacita natal juga bukan membawa kedamaian, tetapi memecahbelah keluarga. Gara-gara baju-baju baru, dan asesoris natal, si suami harus bertengkar dengan istri dan anak harus saling iri satu sama lain. Menyedihkan.
Di poin ini, sebenarnya cerita Piet Hitam dan tradisi natal yang disalahartikan bukan saja mengingatkan kita saja agar jauh dari rasisme, tetapi isme-isme yang lain yang tanpa kita sadari membelenggu kita. Seperti materialisme, egoisme dan hedonisme. Bukankah sang bayi lebih membutuhkan hati kita yang penuh kekayaan untuk membaharui diri daripada lahiriah yang dihiasi pernak pernik kemewahan?.
Kemarin saya bertemu dengan pasangan suami istri, yang terlihat dari keluarga sederhana. Â Mereka sepertinya terlihat malu karena di tengah rombongan pembelanja mereka "terpaksa" harus memilih pohon natal yang paling murah dan mungil di toko itu. Sedikit berdiskusi, akhirnya pohon natal kecil itu terbeli. Mereka saling berpegangan tangan dan tersenyum ketika keluar dari perbelanjaan. Pohon natal kecil yang sederhana itu tidak menggantikan bahkan berjalan dengan sukacita natal yang sesungguhnya.
Bukankah itu arti natal sebenarnya?. Kesederhanaan yang membawa sukacita besar. Kiranya itulah yang terjadi di dalam setiap keluarga yang akan merayakan natal.
Selamat hari natal.
Salam