Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Bob Marley dan Tangisan Han Kwan-Song

27 September 2017   14:24 Diperbarui: 27 September 2017   18:32 4719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bintang Muda Korea Utara, Han Kwang-Song (Sumber Gbr : Zombio)

Han Kwang-Song menangis ketika tidak diizinkan untuk melakukan wawancara dengan stasiun televisi Italia. Han sebelumnya sudah memastikan bahwa tidak ada hal berbau politik dalam daftar pertanyaan yang akan dibahas dalam acara tersebut. Tetapi pemerintah Korea Utara tetap melarangnya.

"Football is freedom!" dengan lantang Bob Marley berteriak ketika ditanyakan tentang makna sepak bola. Bagi ikon musik reggae asal asal Jamaika ini, sepak bola adalah simbol dari kebebasan. Lebih jauh, Bob Marley mengatakan bahwa Alam semesta menghadirkan sepak bola supaya kebebasan itu dapat mempersatukan. "Jika kalian ingin mengenal saya, maka kalian harus bermain bola dengan saya," ucap Bob Marley suatu waktu kepada insan pers yang hendak mewawancarai dirinya.

Tak heran Marley berkata seperti itu. Pria bernama lengkap asal Robert Nesta Marley ini memang menyukai sepak bola sejak kecil. Besar di lingkungan keras dan kumuh Kota Kingston, Marley kecil sering memuaskan batinnya yang sering terluka dengan bermain sepak bola di jalan raya bersama teman-temannya.

Bob Marley, hobi sepak bola (Sbr : The undefeated)
Bob Marley, hobi sepak bola (Sbr : The undefeated)
Namun beranjak remaja, sepak bola yang mengisi kesehariannya gagal mencuri hatinya seperti yang dilakukan musik reggae terhadap dirinya. Bahkan, meski drop out dari sekolah, Marley, bergabung bersama teman-teman yang menyukai genre musik yang sama (reggae), dan mulai menapak jalur keterkenalan ke seantero dunia melalui bandnya bernama The Wailers.

Namun popularitas itu tak abadi sama seperti diri Marley sebagai seorang manusia. Bob Marley diserang kanker kulit pada tahu 1977. Meski telah berjuang, akhirnya sang "nabi" reggae ini akhirnya harus menghembuskan nafas terakhirnya di Miami Hospital pada 11 Mei 1981 di usia 36 tahun.

Marley memang tak abadi, namun filosofi reggae yang dia perjuangkan melalui musiknya tetap abadi. Ajakan dengan muatan perdamaian dan kebebasan melalui reggae tetap dikenang. Seperti salah satu bagian lirik dari lagu berjudul Could you be loved.

They say only, only, only the fittest of the fittest shall survive stay alive. Yang artinya, "Banyak yang akan mencoba sekuatnya menghalangi kita, jangan biarkan mereka. Yang terus berjuang akan terus bertahan". Lirik yang menggambarkan bahwa perjalanan perbudakan dari Afrika sangatlah berat. Dan hanya yang paling kuat yang dapat bertahan. Kita telah berjuang selama berabad-abad, tetaplah berjuang dan kita akan bertahan.

Mengingat kebebasan sepak bola ala Bob Marley saya langsung teringat akan Han Kwang-Song. Han adalah pesepak bola berusia 19 tahun asal Korea Utara yang sedang meniti karir di tanah Italia bersama klub Cagliari. Han dipandang sebagai salah satu pesepakbola dengan talenta luar biasa, hingga klub raksasa Italia, Juventus dikabarkan berminat merekrutnya.

Musim lalu, Han berhasil menorehkan rekor sebagai pemain Korea Utara pertama yang mencetak gol di Seri A. Dimainkan sebagai pemain pengganti di Cagliari, Han berhasil merobek gawang Torino yang dikawal Joe Hart. Meski kalah 2-3, permainan Han dipuji setinggi langit.

Han bersinar bersama Cagliari dan Perugia (Sbr : zimbio)
Han bersinar bersama Cagliari dan Perugia (Sbr : zimbio)
"Seorang penyerang yang sangat pandai dan punya fondasi hebat dalam hal dribel, insting mencetak gol dan visi yang memang menjadi karakteristiknya," tulis Cagliari kala mendeskripsikan kualitas sang bintang muda.

Musim ini pesona Han tak meredup meski dipinjamkan ke Klub Seri B, Perugia untuk mendapatkan kesempatan bermain lebih banyak. Bahkan Han berhasil mencetak Hattrick ketika Perugia melibas Virtus Entella dengan skor 5-, 28 Agustus 2017. Tiga golnya ini membuat ia menjadi pesepak bola Korea Utara pertama yang mencatatkan hattrick di Serie B. Luar biasa.

Han menunjukkan sebuah paradoks yang langka. Lahir dan besar dari rezim komunis dengan kebebasan yang terbatas di Korea Utara, Han mampu berkekspresi seperti tanpa batas di lapangan hijau. Melalui Kecepatan, kelihaian menggocek bola dan gol-golnya, Han seperti ingin berteriak kepada dunia seperti teriakan Marley, "Football is freedom".

Puncaknya senator Italia yang juga presiden Perugia, mendorong Antonio Razzi mengirimkan surat kepada Kim Jong-un, pemimpin Korea Utara mengabarkan performa dan bakat dari Han.

Apa respon dari Korea Utara? Sayang, kebebasan yang ditunjukkan Han tetaplah terfragmentasi karena masih berdirinya tembok tebal dalam sebuah rezim komunisme. Kebebasan masih ada batasnya bagi rezim pimpinan Kim Jong-un itu. Han boleh berekspresi tentang kebebasan di lapangan hijau melalui penampilan impresifnya, namun ketika berbicara sebagai warga negara, Han tidaklah bebas dan harus tunduk pada pemerintah yang defensif dan arogan itu. Menyedihkan.

Dampaknya, beberapa hari lalu, ketika dijadwalkan untuk menjalani sesi wawancara dengan Stasiun Televisi, Rai Han dilarang oleh pemerintah Korea Utara karena ditengarai acara itu memiliki muatan politik. Han yang telah mencetak lima gol dari enam laga di Serie B menjadi sangat kecewa. Han dilaporkan menangis karena tahu bahwa tidak ada satupun yang berbau politik di acara yang selalu bertema olahraga itu.

Bagaimana karir Han setelah peristiwa ini, tidak ada yang tahu. Namun, bukanlah rahasia lagi bahwa pemerintah Korea Utara adalah pemerintah yang tegas menghukum warga negara yang melawannya. Han ingin berteriak juga di luar lapangan, namun ia masih mempunyai keluarga yang tinggal di Korea Utara. Syukur- syukur masih dilarang, ancaman siksaan dari tentara bahkan ditembak mati di tempat di hadapan banyak orang mampu dilakukan untuk sebuah bantahan. Sadis.

Han jelas berada di dalam persimpangan. Sepak bola yang adalah sebuah kebebasan dalam kegembiraan bagi Han berubah menjadi penuh tekanan. Sepak bola kehilangan pesonanya hanya karena angkuh dan kejamnya sebuah rezim. Jika akhirnya harus pulang, Han akan menyusul rekan senegaranya, Choe Song-hyok yang ketika direkrut Fiorentina harus diputus kontrak karena tudingan bahwa 70 persen gajinya wajib disetorkan secara langsung ke pemerintah negaranya.

Kisah Han ini seharusnya mencambuk bakat-bakat muda di berbagai negara demokrasi termasuk Indonesia untuk memainkan sepak bola dengan kebebasan penuh dan dengan hati. Bermain sepak bola karena mencintainya. Bermain sepak bola karena di sana, sebuah kebebasan yang penuh arti akan terpancarkan. Kebebasan yang bisa jadi tidak ada di tempat lain.

Jangan pernah terjajah dengan hal-hal lain yang membelenggu kebebasan itu. Menarilah di lapangan, selama tak ada yang mempermasalahkan tarian indahmu.

Ah, jika Bob Marley dapat memberi sebuah pesan bagi Han sendiri, mungkin dia akan berpesan melalui sebuah penggalan lirik dari lagunya yang berjudul No Woman No Cry.

My feet is my only carriage,
So I've got to push on through.
But while I'm gone, I mean,
Everything's gonna be all right!

(Kakiku adalah satu-satunya yang ku bawa dalam perjalanan hidupku. Karena itu aku harus terus maju ke depan. Tetapi jika aku tiada nanti, semua akan baik-baik saja.).

Jangan pernah berhenti bermain sepak bola Han!

Referensi : 1- 2 - 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun