Insiden Bendera di Hotel Yamato, Surabaya, di bulan September 1945 mengingatkan kita akan keberanian seorang pemuda bernama Sidik yang rela ditebas pedang tentara Belanda demi berkibarnya bendera Indonesia. Bendera triwarna milik Belanda dirobek menjadi dwiwarna, menjadi bendera merah putih.
Resiko darah tertumpah dalam peristiwa bersejarah tersebut hanya sedikit dari berbagai peristiwa kepahlawanan yang menjadi simbol bahwa menjadi bagian dari bangsa tercinta bernama Indonesia ini, tuntutannya adalah kerelaan berkorban bahkan hingga saat ini. Di masa kini, kerelaan berkorban tersebut bisa direfleksikan dengan sebuah pertanyaan sederhana, "Sudah berbuat apa untuk Indonesia?".
Ketika saya berefleksi atas pertanyaan tersebut di usia Indonesia yang sudah mencapai 72 tahun ini, maka refleksi atas pertanyaan itu tidak langsung membuat saya melihat apa yang telah coba saya lakukan sekarang sebagai seorang instruktur latihan kerja tetapi juga terus mencoba mencari hikmah dari perjuangan para pahlawan yang berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Sebagai seorang Instruktur Latihan Kerja (ILK) yang bertugas mengajar dan melatih masyarakat di 22 Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur saya tahu bahwa ini hanyalah sekeping kecil persembahan untuk Indonesia. Namun kepingan kecil berbuat itu akan terus saya perjuangkan ketika mengingat dua hikmah akan pengorbanan dari teladan para pahlawan seperti Agustinus Adisucipto dan I Gusti Ngurah Rai.
Hikmah pertama, berani berbuat untuk sebuah misi penting bagi bangsa. Agustinus Adisucipto mencontohkannya. Di masa Agresi Belanda I (1947), "Bapak Penerbang Indonesia" itu terbang ke India untuk mengambil bantuan obat-obatan bagi Indonesia. Saat hendak mendarat di Maguwo, Yogyakarta, pesawat sipil yang dikemudikannya ditembaki dua pesawat Belanda sehingga terempas ke tanah, terbakar, dan menewaskan Adisucipto serta beberapa penumpang.
Sebagai seorang Instruktur Latihan Kerja saya menyadari bahwa apa yang saya lakukan adalah bergiat untuk sebuah misi penting bagi bangsa ini. Provinsi NTT sebagai bagian dari Indonesia adalah provinsi yang terdiri dari banyak pulau, yang banyak darinya tentu tidak mudah dijangkau. Hal ini yang membuat banyak masyarakat NTT yang tidak menikmati pendidikan yang cukup termasuk memiliki ketrampilan kerja memadai sehingga dapat digunakan sebagai bekal untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Sebuah faktor yang membuat provinsi ini juga dilabeli miskin di negeri ini.
Kedua, berani berbuat dengan menjadi penggerak masyarakat. I Gusti Ngurah Rai menjadi contohnya ketika menggerakkan pasukan Ciung Wanara di tahun 1946 untuk melawan Belanda di Desa Marga, Bali. Meski kalah dari segi jumlah dan persenjataan, ia memimpin pasukannya dan gugur bersama mereka dalam perang puputan---perang sampai titik darah penghabisan.
Sebagai Instruktur Latihan Kerja, saya sadaru bahwa tugas saya bukanlah hanya memberikan ketrampilan. Namun ketika tinggal bersama masyarakat di desa atau kampung kecil selama sebulan lebih, sebenarnya terbuka kesempatan untuk mempengaruhi pola pikir masyarakat tersebut sekaligus mendorong mereka untuk bergerak, berinovasi untuk sesuatu yang lebih baik.