Pagi masih gelap di Labuhan Bajo. Namun banyaknya bunyi derap langkah kaki menuju pelabuhan menembus kegelapan itu. Pelabuhan, tempat dimana kapal-kapal pengantar wisatawan ke Pulau Padar ditambatkan.
"Ayo..mas," teriak salah satu awak kapal yang melihat kedatanganku bersama Randi, salah satu pemilik biro wisata di Labuhan Bajo. "Itu mas..kapalnya," tunjuk Randi seraya segera pergi meninggalkanku. Kapal berwarna putih bertuliskan "Persori" di lambungnya, satu dari sekitar puluhan kapal penyedia jasa mengantar para wisatawan.
Di kapal berukuran tak terlalu besar dengan mesin tunggal itu, sudah ada delapan orang penumpang yang sudah duduk manis di dalamnya. Semuanya wisatawan asing. "Good morning...my name is Aris..i'm your guide....".
Aris adalah salah satu siswa SMK Pariwisata di Labuhan Bajo yang sedang magang di kapal ini. Meski malu-malu memperkenalkan namany, Aris dengan lancar menjelaskan tugasnya serta destinasi wisata yang akan dikunjungi. "Thank you Aris," sambut hangat wisatawan sesaat setelah Aris selesai berbicara.
Aris tak sendirian, dia bersama Sipri yang dipanggil dengan sebutan "Kapten", serta Ahmad, sang pembantu Kapten. Memulai berkenalan dengan keempat orang lokal ini tidaklah sulit. Cukup dimulai dengan senyuman, maka tunggu saja, mereka akan menyapa terlebih dahulu. Cara terbaik berkomunikasi adalah memulai dengan senyuman.
Apalagi cuma saya satu-satunya turis domestik di kapal ini. Apalagi turis asing yang berada di atas kapal, terlihat bukanlah orang yang mudah diajak bercakap-cakap apalagi baerbasa-basi, terutama tiga orang wisatawan asal Tiongkok yang lebih suka tidur hampir sepanjang perjalanan.
"Berapa lama waktu kita ke Pulau Padar nana Aris?" tanyaku. "Kurang lebih 3 jam.." jawab Aris yang semakin akrab setelah tahu saya datang dari Ruteng, asal kampungnya. Nana adalah panggilan untuk pria muda orang Manggarai. Ruteng adalah kota dingin di Flores yang berjarak sekitar 150 Km dari Labuhan Bajo. Saya memang lagi melatih latihan kerja di sana, dan saat weekend menyempatkan berlibur ke Labuhan Bajo.
Perahu melaju sedang dengan tujuan Pulau Padar. Sekitar jam 9 lebih seperempat, akhirnya kami sampai di dermaga Padar. Dermaga kayu kecil yang masih terlihat cukup kokoh. Pantai Padar yang terlebih dahulu menyambut kami.
Saya baru mengerti bahwa kenapa harus lebih pagi sampai ke sana. Padar cukup panas di siang hari, jika tengah hari saya pikir menembus 33 derajat celcius. Beruntung, ada beberapa anak tangga yang disediakan untuk memulai track untuk naik ke puncak. Paling tidak, tenaga dan keringat dapat lebih dihemat dengan akses ini.
Beberapa kapal terlihat juga sudah dan baru mau ikut bersandar. Padar seperti magnet yang membuat banyak orang dari dalam dan luar negeri tertarik untuk datang dan mendaki ke puncak. Jika pulau Komodo mendapat kunjungan mencapai ribuan orang dalam sebulan, maka saya yakin Padar yang sedang tren sekarang ini paling tidak mendekati jumlah itu
Ketika perlahan-lahan menapak, saya melihat bahwa bukan hanya suhu panas yang menjadi persoalan, di tempat ini. Jalur track yang disediakan juga bukanlah jalur yang sudah aman. Kiri kanan jalur adalah jurang. Beberapa kali saya berpapasan dengan wisatawan baik lokal dan internasional berusia 50 tahun ke atas yang kepayahan, bukan saja karena stamina tetapi karena takut tergelincir.
Jika tak hati-hati, maka akan sangat berbahaya. Komposisi tanah di Padar yang bercampur kerikil berukuran halus, membuat beberapa pengunjung memang akhirnya tergelicir. Beruntung tak sampai terguling-guling.
Selain itu, meski sudah ramai dikunjungi, namun jangan berharap ada sarana prasarana yang disediakan berupa toilet, dll. Artinya, Anda harus lebih berkompromi dengan "panggilan alam" jika sudah di Padar. Saya sarankan untuk terlebih dahulu melakukannya di perahu sebelum mulai mendaki bukit Padar.
Soal air mineral, harus dibawa sendiri, dan itu sangatlah penting, mungkin lebih penting dari kamera sekalipun, karena dahaga di Padar ketika memuncak tak bisa terjawab dengan uang sekalipun karena tak tersedia warung penjual air mineral satupun disana.
Namun, selebihnya Padar adalah lumbung pesona keindahan. Bulan Juli dan Agustus mungkin adalah musim kemarau di sana, namun paduan pulau-pulau kecil dengan rerumputan dan tanah berwarna coklat berpadu indah dengan lautan biru yang membentuk lukisan indah dipandang mata.
Meski lelah namun keindahan pemandangan di sekitar seperti merangsang dan memacu tenaga kita agar terus mendaki supaya dapat melihat lebih dan lebih lagi. Seperti tak pernah habis.
Janganlah kuatir, karena ada juga wilayah dataran meski sempit, yang dapat dipakai untuk beristirahat sejenak. Tempat yang tepat untuk bercengkerama dengan lainnya. Seperti saya yang sempat bercengkerama dengan kelompok wisawatan asal California, Amerika yang memilih berhenti bekerja lalu travelling ke Flores Indonesia.
Waktu sudah pukul 11 siang. Waktunya untuk berlekas turun menuju perahu. Namun masih banyak yang masih asyik mendaki, serta berfoto di puncak Padar. Bunyi mesin perahu kami mulai membesar, tanda untuk segera meninggalkan dermaga.
Dari kejauhan, Padar seperti pada awalnya kembali terlihat sebagai pulau tandus kering yang tak menarik dan biasa saja, namun tak daapt dipungkiri bahwa ketika sampai di sana, dan mendaki ke puncaknya, maka keindahan itu akan segera nampak. Jangan pernah tertipu dengan kulit luar, tapaki dan dakilah, maka keindahan itu akan semakin nyata. Saya pernah berjejak di sana, Anda?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI