Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kapitän Philipp Lahm, Ambisi dan Keputusan Pensiun

21 Mei 2017   08:08 Diperbarui: 21 Mei 2017   10:53 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lahm, kali terakhir di Allianz/ Espn.com

Vielen Dank fur 22 wundervolle Jahre, Philipp!. Terimakasih untuk 22 Tahun yang penuh keajaiban Philipp. Begitu tulisan spanduk raksasa yang dibentangkan supporter Bayern di Allianz Arena.

Lebih dari 70 ribu pendukung FC Hollywood tumpah ruah di Allianz untuk memberikan penghormatan terakhir bagi Lahm. Bersama gelandang veteran asal Spanyol, Xabi Alonso dan Kiper, Tom Starke, Lahm resmi akan memainkan pertandingan terakhirnya bagi Bayern.

Sebenarnya niat Sang Kapten untuk pensiun telah diutarakannya sesudah penampilan ke-501 melawan Vfl Wolfsburg pada 8 Februari 2017. "Saya bisa melanjutkan gaya kepemimpinan dan memberikan yang terbaik dalam setiap latihan hingga akhir musim. Saya bisa lanjut, tetapi tidak setelahnya," ujar Lahm saat itu.

Pernyataan Lahm mengundang keterkejutan dari berbagai pihak. Selain kontraknya baru selesai pada 2018 nanti, pihak klub dan rekan tim merasa bahwa Lahm masih mampu bersaing dalam level tertinggi kompetisi di usia yang “masih” 33 tahun. Seperti kata bek Bayern, Matt Hummels. "Tentu ini mengejutkan dan menyedihkan karena dia selalu menunjukkan performa di level tertinggi dan dia tidak akan lagi bersama kami di ruang ganti dan lapangan," ungkap bek berusia 28 tahun tersebut.

Memulai karir sebagai produk akademi Bayern pada umur 11 tahun, bakat skill dan kepemimpinan Lahm sudah terlihat. Kepiawaian Lahm melakukan dribbling, passing dan tackling yang di atas rata-rata  membuat dia dijuluki sebagai Magic Dwarf atau 'Kurcaci Ajaib'.

Kata kurcaci sendiri merujuk pada ukuran tubuhnya. Meski hanya bertinggi 170 cm, pemain yang berposisi sebagai bek sayap ini mampu menunjukkan performa gemilang di Bayern maupun timnas Jerman. 1 Gelar Liga Champions, 7 Trofi Bundesliga dan membawa Jerman menjadi juara Piala DUnia 2014 menjadi bukti dari keajaiban seorang Kurcaci yang dimiliki oleh Lahm.

Sang Kapitan juga mampu beradaptasi dengan strategi para pelatih Bayern dan rela dipindahtugaskan ke berbagai posisi. Misalnya saja ketika Lahm digeser dari bek kiri oleh Louis van Gaal ke lapangan kanan, atau ketika Pep Guardiola membuat Lahm untuk pertama kalinya dipercayai sebagai gelandang bertahan pada musim 2013/2014.

Kenyang jam terbang, kaya pengalaman dan masih sanggup menunjukkan performa level tinggi inilah yang membuat publik bertanya-tanya apa alasan sebenarnya Lahm Pensiun.

Menurut Lahm sendiri, alasan performa menjadi alasan utamanya. "Lebih dari setahun lalu saya mulai mengecek dan mempertanyakan diri sendiri dari hari ke hari dan dari pekan ke pekan. Saya yakin saya akan mempertahankan performa puncak sampai akhir musim," kata Lahm beralasan.

Sang pelatih, Carlo Ancelloti hampir tidak bisa menerima alasan Lahm tersebut. Allenatore asal Italia tersebut bahkan membujuk Lahm agar membatalkan keputusannya tersebut. "Carlo mencoba segalanya untuk meyakinkan saya agar tak pensiun. Hampir tiap hari! " tutur Lahm mengenai Ancelloti.

Ancelloti seperti tak rela jika pemain yang melakukan debutnya di Bayern saat  partai penyisihan grup Liga Champions melawan RC Lens, 13 November 2002 ini mengaangap dirinya sudah tidak mampu menunjukkan performa di level tertinggi.

Ancelloti sangat yakin bahwa sang kapten itu masih bisa melakukan hal luar biasa di umur 30-an, seperti anak asuhnya yang lain yang belum berniat pensiun. Contohnya, Arjen Robben (33 Tahun) dan Ribery (34 tahun. Di luar Bundesliga lebih banyak lagi, ada Gianlugi Buffon (39 tahun), Daniel Alves (34 tahun) atau seperti Totti (40 tahun) yang masih ingin menunjukkan performa terbaik mereka.

Namun banyak juga yang mengatakan bahwa persoalan terbesar di balik keputusan pensiun Lahm adalah masalah ambisi. Lahm tidak mempunyai ambisi lagi sebagai pesepakbola untuk menjadi pemenang setelah mendapat sederetan gelar dari berbagai kompetisi.

Jika tidak mempunyai ambisi lagi maka kehidupan seperti sudah berhenti, seperti yang dikatakan oleh penulis buku berjudul Success dan Excellence , J Pincott. Pincott mengatakan bahwa ambisi itu adalah sebuah keinginan teguh untuk melakukan yang terbaik. Ambisi memotivasi untuk terus menerus memberikan tantangan bagi diri sendiri.

Ambisi pula yang mendorong untuk mewujudkan mimpi-mimpi, harapan besar yang seharusnya tetap setinggi langit dan yakin semua itu dapat diraih. Ambisi  yang mengalahkan hambatan bisa mewujudkan hal-hal luar biasa dalam hidup kita.

Jika berkaca dari maksud ambisi ini, maka kita tidak heran jikalau pesepakbola Gianluigi Buffon di usia 39 tahun terus menjaga stamina dan konsentrasinya dengan baik hanya untuk gelar Liga Champions yang belum dapat diraihnya. Ada pula Daniel Alves yang lebih memilih meninggalkan Barcelona untuk menyebrang ke Juventus demi menjaga ambisinya.

Namun banyak contoh lain pesepakbola yang juga kehilangan ambisi di lapangan hijau seperti Lahm. Pesepakbola yang didaulat sebagai pesepakbola Asia terbesar asal Jepang, Hidetoshi Nakata memilih pensiun dari sepak bola di usia 29 tahun dan lebih aktif dunia fashion dan model. Mantan gelandang AS Roma ini telah kehilangan ambisi di sepak bola.

Hidetoshi tidak sendirian. Pada Maret 2017, King Eric Cantona juga buka-bukaan mengenai alasan pensiun dari sepak bola ketika masih berusia 30 tahun. Memberikan 9 gelar dalam 5 tahun merumput bersama Manchester United, Cantona jujur mengatakan bahwa kehilangan ambisi adalah alasan utamanya untuk pensiun.

 "Saya kehilangan gairah dalam pertandingan," kata Cantona yang kini berusia 50 tahun.

Apakah keputusan Lahm, Nakata dan Cantona adalah sebuah kesalahan? Tentu tidak. Keputusan pensiun adalah keputusan pribadi.  Platini (32 tahun), Zinedine Zidane (34 tahun) hingga Marco Van Basten (31 tahun) juga memilih untuk angkat kaki dari lapangan hijau karena alasan masing-masing.

Para insan ini seperti memberi pesan bahwa mereka tidak mau mengotori indahnya lapangan hijau dengan permainan yang tanpa gairah lagi. Mereka tahu persis bahwa jikalau sudah di lapangan mereka harus memberikan 100 persen kemampuan secara raga sekaligus bermain dengan jiwa mereka.

Di sepak bola modern, hal ini sudah jarang terlihat. Demi uang para pemain rela memainkan setengah jiwa raga mereka di lapangan dan akhirnya harus dipaksa untuk keluar dari klub. Terkecuali bagi mereka yang berjiwa besar dengan talenta besar.

Berita terakhir, Philipp Lahm menolak tawaran untuk mengisi posisi direktur olahraga klub yang kosong di Bayern. Lahm lebi memilih untuk sementara menghabiskan waktu bersama sang istri, Claudia Schattenberg dan putra kecilnya, Julian.

Vielen Dank Kapitän Philipp ! Terima kasih Kapten Philipp.

Referensi : 1 I 2 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun