Setelah mobil diparkir, kurcaci-kurcaci kecil mulai berlompatan keluar menuju pasir putih Nemberala. Nemberala masih indah, pasir putihnya lebar dan panjang dengan beberapa pohon kelapa menjadi penghias yang sempurna. Walaupun tentu pasirnya tidak sedalam dahulu dan jumlah pohon kelapanya sudah berkurang. Semuanya karena pembangunan yang semakin pesat di sana.
“Toto sa (saja)....” teriak anak-anak ini ketika saya mengajak mereka berfoto. Mereka masih malu dan cenderung takut. Tanpa mengurangi rasa hormat saya, saya pun berfoto dengan wanita Inggris itu. “Thank you” ucap saya, sehabis berfoto dan wanita itu beranjak pergi sambil melambaikan tangannya ke anak-anak. Anak-anak pun kembali kesibukan mereka mengambil batu-batu laut menarik yang mereka temukan.
“Ayo berpindah, masih ada yang bagus di sana” kata papa saya sambil menunjuk arah ke barat. Anak-anak walaupun kelihatan puas bermain di pasir taat untuk kembali masuk ke dalam mobil. Kami mulai bergerak.
Alasannya mungkin karena di Mboa inilah ombak mencapai puncak tertingginya. Terlihat dari jauh Ombak itu menghantam batu karang tinggi di Mboa. Entah bagaimana menjelaskannya tetapi ombak itu terhempas sebelum sampai ke pantai.
Seperti ulangan di Nemberala, anak-anak kecil mulai berlarian bagaikan menyambut ombak. Beberapa kali mereka memamerkan batu-batu berwarna yang tak kalah menariknya dengan yang ditemukan di Nemberala.
“Dulu waktu kecil, saya sering mencari kayu hingga disini?” cerita bapatua (papa). “Kenapa son beli tanah disini bapa?” tanya kami dalam canda. “ Belum ada duit….” jawab papa sambil tersenyum. Papa hanyalah satu dari sedikit anak rote yang pada tahun 1950-an mau merantau ke kupang untuk bersekolah. Cerita tentang almarhumah oma (nenek) yang rela menjual ternak milik mereka hanya untuk dia bersekolah menemani kami kala menikmati keindahan Mbo’a.
Papa bukanlah dari keluarga kaya, namun orang tuanya sudah punya wawasan baik tentang pendidikan yang baik. Walaupun harus ke kupang dan meminta belas kasihan keluarga untuk “menampung” sementara selama bersekolah, papa tidak lah malu dan tidak Te’koa.