Kupang sesekali masih diguyuri hujan. Namun ketika hujan itu usai, halaman rumah kecil itu mulai didatangi orang. Apalagi ketika siang menjelang sore. Beberapa orang membawa dus ukuran sedang yang berisi botol-botol mineral 500 ml. Air?. Bukan, Jangkrik !.
“Pertama, Kurus bawang melawan tumis kangkung” ujar seseorang berlagak sebagai host tinju. Itu bukan nama bumbu dapur dan makanan, tetapi nama jagoan jangkrik yang akan tampil. Seperti tinju, sebelum bertanding dilakukan “timbang badan”. Tentu saja tidak pakai timbangan tetapi perlu orang yang dipercaya untuk menentukan bahwa akan ada pertandingan yang adil. “Hajar….” Kata om Ma’e, pria berusia hampir setengah abad yang dipercaya sebagai penilai kelayakan jangkrik bertanding.
Nah, setelah kedua jangkrik diletakkan ke dalam kotak kaca, para pemilik jangkrik akan melakukan berbagai ritual, salah satunya adalah dengan menggunakan Kulu-kulu. Kulu kulu adalah kayu kecil yang ujungnya dipasangi karet atau bagian tubuh jangrik yang sudah mati, biasa kepala. Kulu-kulu akan didekatkan ke kepala jangrik yang akan bertanding, tujuannya untuk membuat jangkrik bertambah galak.
Si jangkrik pemenang pun, diharuskan tetap turun lapangan untuk melawan lawan kedua. Dilarang untuk beristirahat. Sesudah melawan lawan kedua baru boleh beristirahat. “Gigi su (sudah) asam” kata om Ma’e menjelaskan alasan si jangkrik harus diistirahatkan. Jika “gigi asam” maka si jangkrik tidak akan mau bertanding.
Cara beristirahatnya pun tidak biasa. Jangkrik akan dibiarkan menggantung dengan diikat pada helai rambut. Dengan digantung, saraf motorik dari jangkrik dipercaya akan semakin aktif yang membuat jangkrik menjadi semakin galak.
Hampir sore, semakin banyak penonton dan juga penantang. Di Kupang, adu jangkrik ini salah satunya hanyalah seperti nostalgia masa kecil para pengadu jangrik. “Dulu waktu kecil kita memang sering bermain adu jangkrik. Jadi ini seperti nostalgia” jelas om Tony, pria berumur 40-an sambil tersenyum dan asyik memilih jangkrik yang mau dipertandingkan dari dusnya.
Di Indonesia, permainan adu jangkrik adalah sebuah permainan rakyat yang sudah lama dikenal. Dalam buku Nusa Jawa : Silang Budaya Jilid 2, jaringan Asia,diceritakan bahwa para bangsawan dan pedagang kaya di Jogja mengadakan pertandingan adu jangrik setiap hari selasa dan jumat pada zaman Hamengku Buwono VII (1877-1921). Walaupun lebih terkenal di Jawa tetapi adu jangkrik ini juga ada di beberapa daerah lain di Indonesia. Di Bali disebut maluan dan di Aceh disebut daruet kleng. Tradisi dulu menceritakan bahwa adu jangkrik ini diiringi dengan bacaan mantera, agar si jangkri bisa menang. Menarik.