“Wanita seperti kantong teh: anda tidak akan pernah tahu betapa kuatnya ia sampai anda menaruhnya di air panas.” – Nancy Reagan
Pelatih peraih Piala Dunia 2002 asal Brasil, Luiz Felipe Scolari, mungkin tidak pernah berpikir apalagi bermimpi bahwa suatu saat di lapangan hijau dia harus beradu pikir dengan seorang pelatih berjenis kelamin wanita.
Namun, hal tidak mungkin itu menjadi kenyataan pada hari Selasa, 21 Februari 2017 saat pertandingan perdana fase grup G Liga Champions Asia antara klub dari Liga Super Tiongkok, Guangzhao Evergrande berhadapan dengan kampiun liga Hong Kong, Eastern FC.
Scolari berjalan pelan ke bench Eastern FC. Seperti biasa, sebelum pertandingan pelatih kedua tim akan saling berjabat tangan. Di bench Eastern SC, seorang wanita “mungil” berambut sebahu bangkit dari tempat duduknya menyambut kedatangan Scolari, dialah pelatih Eastern SC bernama Chan Yuen-ting. Pelatih wanita pertama dalam sejarah kompetisi paling elit asia bagi klub-klub Pria tersebut.
Sepanjang pertandingan pelatih wanita yang baru berusia 28 tahun itu terus menyemangati timnya. Layaknya pelatih pria, sesekali Chan bertepuk tangan dan berteriak , ‘membakar” anggota timnya untuk terus berjuang hingga akhir.
Namun malam di Guangzhao itu menjadi kelabu buat Chan Yuen-ting dan Eastern SC. Harus bermain dengan 9 orang sebelum babak pertama usai, Eastern SC harus rela dicukur juara dua kali, Evergrande, 7 gol tanpa balas. Seusai pertandingan terlihat Scolari dan Chan saling berjabat tangan dan berbincang singkat, tangan kiri Scolari malah menepuk kepala belakang Chan, mungkin untuk menghibur sebelum pergi.
Apakah Chan patah arang?. Ternyata tidak. Dalam pertandingan kedua fase grup, ketika Eastern FC kembali berhadapan dengan raksasa Jepang, Kawasali Frontale, Chan sepertinya telah beradaptasi dengan aroma kompetisi elit tersebut. Kai ini, Chan keluar stadion dengan tersenyu. Tanpa diduga, Eastern FC berhasil menahan seri Frontale dengan skor 1-1. Hebat.
Stadion Mong Kok, Hongkong menjadi saksi ketika Chan Yuen-ting kembali berhasil mengukir sejarah dengan menjadi pelatih wanita pertama yang mendapat poin dalam kompetisi Liga Champions Asia. Luar biasa.
Setahun yang lalu, Chan tidak pernah menduga bahwa dia akan ditunjuk untuk menjadi pelatih Eastern SC yang ditinggalkan pelatih utama mereka yang hijrah ke Tiongkok, Yeung Ching-kwong. Chan yang saat itu sebenarnya sudah cukup bangga menjadi asisten pelatih dianggap paling mengetahui seluk beluk klub tersebut, walaupun banyak pihak yang meragukan.
Namun perjudian besar itu berbuah manis. Chan langsung memberikan prestasi besar kepada Eastern SC. Eastern SC berhasil meraih prestasi tertinggi dalam sejarah klub dengan menjuarai Hong Kong Premier League 2015/2016 saat dipimpin seorang pelatih wanita.
Keberhasilan itu membuat nama Chan mendunia. Apalagi setelah Chan dinobatkan menjadi pelatih wanita terbaik di tahun 2016 oleh Asosiasi Sepak bola Asia (AFC). Selain itu Guinnes World Records juga memberikan penghargaan sebagai pelatih wanita pertama yang menjadi juara di kompetisi utama sepak bola pria.
Walaupun begitu, sebenarnya Chan bukanlah yang pertama yang “berani” terjun sebagai pelatih dalam kompetisi sepakbola pria. Pada tahun 2014, wanita asal Portugal bernama Helena Costa ditunjuk menjadi pelatih klub divisi dua Perancis, Germont Ferrad.
“Penunjukkan ini bicara lebih dari seorang Helena Costa menjadi pelatih sepak bola bagi kaum pria. Saya berharap ini adalah sebuah langkah pertama, langkah besar. Saya membuka pintu pertama kali dan berharap banyak lagi wanita lain yang mengikuti jejak saya” ujar Helena Costa, ketika diwawancarai New York Times pada Mei 2014.
Sayang, setelah sebulan melatih Helena Costa harus mundur karena merasa tidak mendapat hormat yang cukup ketika melatih, dan akhirnya digantikan oleh pelatih wanita lain bernama Corinne Diacre. Namun benar yang dikatakan oleh Costa, dia telah membuka pintu lain bagi pelatih wanita seperti Chan Yuen-ting di Hong Kong.
Sebenarnya Chan Yuen-ting juga mengalami persoalan yang sama sewaktu awal melatih. Ketika baru pertama kali melatih, banyak yang bernada sinis akan kemampuan Chan. “ Kamu hanya seorang pelatih wanita, apalagi baru berusia 27 tahun” cerita Chan tentang sindiran yang kebanyakan keluar dari para jurnalis di Hong Kong.
Pada awal melatih, banyak pemain yang sedikit bingung dan tidak nyaman karena dilatih oleh wanita. Mengaku stress dan tertekan pada awal kepelatihan itu, Chan juga bersyukur karena semua pemain tetap bersikap professional dengan mau mendengarkan dan melakukan strategi dan pola latihan yang dia berikan. Apalagi dalam pertandingan pertama, Chan berhasil membawa Eastern SC menang dengan skor 6-1 yang membuat transisi kepelatihannya berjalan mulus dan akhirnya menjadi juara.
Chan yang berlatar belakang sarjana geografi dari Chinese University Of Hongkong ini selama ini memang ada di belakang layar atau hanyala sebuah “kantong the”. Walaupun mempunyai pengalaman sebagai pemain di timnas wanita Hong Kong periode tahun 2008-2013, Chan hanya dipercaya sebagai seorang analis data ketika pertama kali terjun di dunia manajemen sepak bola.
Chan terus memberikan yang terbaik dalam kesempatan sekecil apa pun. Memberikan prestasi sebagai seorang analis data di klub Hong Kong, Pegasus FC, Chan diberikan kesempatan untuk menjadi asisten manajer. Di sini pun, Chan menunjukan bahwa dia bisa memberikan kontribusi maksimal. Malahan, bersama tim U-18 klub itu, Chan berhasil memberikan 3 trofi, kali ini sebagai pelatih!.
Semakin Chan diberikan kesempatan yang lebih menantang atau lebih “panas”, Chan semakin berprestasi, begitu kira-kira. Akhirnya Chan dipercaya untuk masuk ke “air panas” dan Chan semakin kuat.
Kiprah selanjutnya dari Chan patut ditunggu. Bukan saja oleh pendukung Eastern SC yang ada di Hong Kong tetapi juga di dunia. “Ini merupakan momen bersejarah. Sebuah terobosan besar bagi sepakbola Asia, untuk sepakbola global. Dunia kana menyaksikan kiprahnya” ujar Presiden AFC Shaikh Salman bin Ebrahim bersemangat.
Jalan terjal akan terus dihadapi Chan khususnya dalam kompetisi Liga Champions Asia. Walaupun suatu saat tersandung, Chan tetap boleh berbangga karena dia telah mengukir sejarah. Chan bukan saja telah memberi rasa the, tetapi juga telah memberi warna bagi sepak bola dunia. Salut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H