Banyak Netizen dibuat geram dengan beredarnya gambar disensornya salah satu atlet cabang renang di PON XIX di Jawa Barat. Gambar screenshot yang menjadi topik pembicaraan memperlihatkan seorang atlet wanita yang hampir sekujur tubuhnya telah diblur.
Belum jelas siapa nama atlet tersebut, berasal dari Provinsi apa dan ScreenShot diambil dari tayangan media apa. Namun protes keras terwujud dalam berbagai ungkapan. Mulai dari #BoikotPON sampai sindiran agar cabang renang dan sejenisnya dihapus.
Protes itu mengundang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ikut berbicara. KPI tidak mau disalahkan atas kejadian tidak mengenakan tersebut. KPI menjelaskan bahwa tidak ada perintah apapun dari KPI untuk menyamarkan tubuh atlet putri tersebut. KPI juga menerangkan bahwa lembaga penyiaranlah yang berinisatif untuk memblur gambar tersebut.
Dilarang Mengeksploitasi Bagian Tubuh Tertentu
Namun pertanyaan tidak berhenti sampai disitu. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana peraturan perundangan yang berlaku?
Mengenai pertanyaan ini, KPI menjelaskan bahwa gambar terkait perlombaan memang tidak perlu disamarkan namun telah diatur juga dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) yang dikeluarkan KPI tahun 2012.
Dalam Standar Program Siaran pasal 18 ayat disebut bahwa stasiun televisi dilarang 'mengeksploitasi dan/atau menampilkan bagian-bagian tubuh tertentu, seperti: paha, bokong, payudara, secara close up dan/atau medium shot'.
Artinya menjadi SALAH apabila 3 bagian tubuh yang disebut diatas sampai dizoom (Bahasa Otto Hasibuan: Juming) oleh lembaga penyiaran sehingga kelihatan terfokus di situ saja. Ini yang dinamakan ekploitasi tubuh dan terkait erat dengan cara meliput atau mengambil gambar.
Masalah ini sebenarnya tidak timbul di ajang sekelas PON saja. Jika kita perhatikan di Olimpiade Rio 2016 kemarin, masalah sejenis muncul juga.
Contohnya, di cabang loncat indah kelompok pria. Salah satu stasiun televisi menempatkan papan skor tepat menutup daerah pinggang ke bawah para atlet pria dalam tayangannya. Hal ini diharapkan agar menutup bagian tubuh tertentu.
Cara Meliput & Cara Pandang yang Berbeda-beda
Dua kasus ini memperlihatkan bahwa ada masalah yang terjadi. Entah itu masalah di cara pandang kita atau hal yang paling sederhana, cara meliput ajang olahraga dengan kostum yang minim.
Jika kita mulai dari yang lebih sederhana, maka yang perlu diatur adalah “seni” meliput itu sendiri. Mulai dari cara mengambil gambar sampai pada produk tampilan akhir yang ditampilkan. Apakah bisa diatur agar perlombaan diambil dari jarak yang cukup jauh dan lebar, sehingga potensi untuk terlihatnya bagian-bagian tubuh yang “dilarang” itu tidak terlihat.
Tetapi ini tentu tidak akan menyelesaikan masalah jikalau cara pandang kita juga tidak berubah. Padahal ini yang paling sulit. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa dengan pengambilan gambar tersebut bisa mencegah orang tidak akan timbul gairahnya.
“Persoalannya bukan di pakaian renangnya tetapi di pikiran orang yang menontonnya,” kata salah satu Netizen yang mengecam tindakan sensor tersebut.
Saya secara pribadi, menganggapnya agak berlebihan. Setiap pihak berharap agar PON menjadi ajang pembuktian dari kerja keras para atlit dalam persiapan mereka. Kita juga berharap melalui ajang ini akan lahir atlet-atlet berprestasi. Seharusnya hal-hal non teknis semacam ini harus diminimalisir sehingga tujuan itu dapat tercapai.
Jangan sampai dan tidaklah lucu jika sang atlet lebih kuatir cara berpakaiannya daripada berusaha mencatat prestasi yang maksimal di ajang yang dia ikuti kan?
Salam
Sumber berita :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H