“Selamat datang di bengkel kami. Tempat ini akan menjadi rumah kedua bagi teman-teman selama pelatihan,” sapa saya ramah sebagai tuan rumah. Dua puluh orang siswa membalas dengan sikap bersahabat. “Sebuah awal yang baik dari sebuah pertemuan,” pikir saya dalam hati
Sebagai instruktur latihan kerja, ini adalah kedua kalinya saya berkesempatan mengajar dan melatih mebel kepada teman-teman penyandang disabilitas. Jika pada kesempatan pertama saya terpaksa harus meninggalkan karena bertugas ke luar kota, maka kali ini saya bersempatan secara penuh melatih mereka dari awal hingga akhir.
Walaupun sudah menjadi rutinitas bagi kami mengajar dan melatih, tetapi tentu ada sedikit kekhawatiran ketika melatih penyandang disabilitas. Kekhawatiran tentang tingkat disabilitas yang tidak cocok dengan konsep pelatihan dan khawatir tidak bisa 'menentramkan' dan membuat teman-teman disabilitas merasa 'at home' selama mengikuti pelatihan membayangi kami.
Namun kisah mengajar dan melatih penyandang disabilitas kali ini menjadi cerita paling berkesan bagi saya dan teman-teman instruktur selama mengajar dan melatih sebagai instruktur balai latihan kerja di Kupang. Terutama ketika mengingat tentang cerita inspiratif ketiga orang siswa kami ini Tobi, Om Minggus dan Om Nadus.
Tobi dan Mesin Bubut Kayu
Antusiasme untuk belajar menjadi persoalan yang sering saya temui ketika melatih siswa yang normal. Tetapi ini berkebalikan dengan yang saya lihat pada siswa difabel. Seorang siswa bernama Tobi menjadi contohnya.
Dari awal saya sudah mendesain agar Tobi 'cukup' menjadi seorang tukang finishing yang hebat dikarenakan kekurangan fisiknya. ”Dia cukup menjadi ahli amplas kayu yang hebat,” begitu kata saya pada seorang teman instruktur ketika kita mendesain kemampuan diharapkan dipunyai Tobi di akhir pelatihan.
“Pak Arnold, saya bisa mencoba untuk membubut kayu?” tanya Tobi kepada saya ketika pelatihan telah memasuki minggu ketiga. “Ooo…mau?” spontan jawab saya sambil berpikir cara menjelaskan bahwa membubut kayu itu cukup sulit. Apalagi mengingat keterbatasan fisiknya. Bagaimana caranya dia memegang pahat bubut ya? tanya saya dalam hati.
Saya lalu berdiskusi dengan Om Okto, instruktur senior mengenai keinginan Tobi dan faktor keamanan kerja atau biasa disebut K3. Setelah sepakat saya pun mengijinkan Tobi. “Ayo…,” ajak saya pada Tobi. Terlihat mata Tobi berbinar terang melihat ajakan yang langka ini. Selama mencoba membubut, Om Okto setia mendampingi Tobi. Tobi terlihat serius dengan 'job' barunya. Setelah 20 menit mencoba, Tobi mengucapkan terimakasih untuk pengalaman baru yang menarik di hari itu. "Asyik, Pak..," simpul Tobi tentang pengalaman barunya itu senang.
Sesudah itu saya berdiskusi empat mata dengan Om Okto mengenai Tobi. “Dia mempunyai feeling yang cukup bagus mengenai bubut. Sayang tangannya…” nilai Om Okto.“ Suatu saat kita coba buat alat bantu, atau kita coba cari alat untuk bisa membantu orang seperti Tobi, Om Okto,” balas saya mantap.
Tobi membuka mata kami semua bahwa keterbatasan fisik seharusnya tidak membuat seseorang takut untuk mencoba atau belajar hal yang baru. Walaupun hasilnya tidak sempurna, tetapi Tobi ingin menyampaikan bahwa kebahagiaan telah melalui pengalaman baru dengan berani mencoba jauh lebih berharga dari bagaimana hasilnya. Good Job Tobi!
Om Minggus dengan Kegigihannya
Namanya Om Minggus, jujur jika saya perhatikan sepintas dari segi fisik, maka Om Minggus tergolong paling lemah di antara semua peserta pelatihan. Kedua kakinya lemah tergulai. “Sejak lahir, Pak” jawab dia tanpa malu, ketika saya coba bertanya secara pribadi dengannya mengenai kedua kakinya.
Hufft….. Kami salah duga, sebagai instruktur kami akhirnya sangat kagum dengan Om Minggus. Walaupun tidak piawai menggunakan mesin tetap/besar karena dibatasi kekurangan untuk cepat bergerak, tetapi keahlian Om Minggus menggunakan alat tangan bagi kami sudah di atas rata-rata.
Kerapian, kecepatan dan keakuratan menggunakan alat tangan seperti gergaji, siku hingga ketam tangan dan yang lain terlihat dengan jelas. Almost Perfect!
“Dulu saya jual bensin eceran di pinggir jalan, Pak” kata Om Minggus memulai cerita. “Sambil menunggu pembeli, saya mulai belajar menggergaji dan yang lain. Hingga akhirnya dapat membuat kursi dan daun jendela sendiri,” lengkap Om Minggus.
Om Minggus menunjukkan bahwa kegigihan untuk terus berusaha akan mengalahkan kelemahan fisiknya. Selama pelatihan, Om Minggus menjadi salah satu 'idola' saya.
“Ada sesuatu yang sangat kuat di dalam dirinya yang bisa menutup kelemahan dan keterbasan fisiknya,” pikir saya dalam hati terinspirasi dari cerita Om Minggus. Terima kasih Om, sudah hadir di bengkel kami.
Om Nadus dengan Senyumannya
Ternyata kami salah duga. Om Nadus mengajarkan kami sesuatu. “Terpotong karena mesin giling, Pak,” cerita Om Nadus dengan senyuman khasnya. Lelaki tanpa telapak tangan kanan itu selama dua bulan pelatihan di tempat kami tidak pernah terlihat tidak tersenyum. Dia memaksa kami selalu tersenyum selama kami melatih dan mengajar. Tambahan bibir yang setiap hari memerah dengan sirih pinang membuat Om Nadus terlihat sangat menghibur. Haha. Snack tradisional di Kupang yang dia pilih untuk memaniskan mulutnya daripada harus membeli rokok bukan tanpa alasan. "Ini murah dan sehat," kata Om Nadus cerdas.
Om Nadus salah satu murid terbaik kami untuk bagian finishing kayu. Tangannya yang tidak sempurna menyatu dengan kertas amplas mengalun dengan keras di atas kayu Jati. Lambat laun membuat Serat kayu Jati mulai muncul dan memperlihatkan keindahan kayu yang sebenarnya. Tidak pernah satu kalipun perintah di job sheet kami dilewatkan om Nadus. Dia rajin dan taat. Salah satu kualitas berharga bagi calon pekerja di dunia permebelan yang semakin jarang kami temukan di tempat ini.
“Maaf, terlambat, Pak…masih antar anak ke Puskesmas,” maaf Om Nadus suatu ketika. “Lho..kenapa tidak ijin sekalian, Om?” balas saya. “Saya tidak mau ketinggalan ilmu baru, Pak. Bagi saya satu hari harus satu ilmu baru,” jawab om Nadus dengan senyuman manisnya. Hmm…
Om Nadus, Om Minggus dan Tobi mengajarkan saya dan teman-teman di bengkel hal yang sangat besar dan berharga . Ketika kami merasa terbeban untuk menjadi inspirator bagi mereka, mereka malahan menjadi inspirasi bagi kami setiap hari. Kami merasa bahwa sebagai pelatih dan pengajar kamilah yang paling merasa telah berkorban telah memberikan ilmu dan bahkan “hati” kami untuk mereka tetapi pada kenyataannya sebaliknya. Hati mereka yang melahirkan semangat dan kegigihan mereka terus belajar dan belajar untuk kebahagiaan orang lain membuat merekalah yang mengisi kekosongan hati kami selama ini. Merekalah yang perlu dihormati karena pengorbanan yang mereka tunjukkan.
Sudah hari terakhir waktu itu. Kami berfoto bersama. Sebagai instruktur berusia muda dengan latar belakang teknik sipil seringkali saya merasa 'terjebak' berada di tempat ini dan sering bersungut-sungut dengan hal yang saya kerjakan. Saya sering merasa harus berada di tempat yang lebih baik dari ini. Tetapi untuk pertama kalinya dalam hidup saya. Saya merasa sangat sangat-sangat bersyukur bekerja sebagai seorang instruktur dan itu terjadi karena mereka. Orang-orang yang secara fisik terbatas tetapi yang telah melakukan sesuatu yang luar biasa di dalam hidup mereka.
Sangat Berkesan.
Salam
Sumber gambar: Dok pribadi Arnold
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H