Mohon tunggu...
Arnold Budhi Prasetyo
Arnold Budhi Prasetyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

https://penjaringangin.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Tentang Penjaring Angin”

10 Desember 2015   20:39 Diperbarui: 10 Desember 2015   20:39 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita adalah Penjaring Angin karena segala sesuatu dan usaha kita adalah sia-sia.

Orang kaya berlari dan orang miskin merayap menuju tempat yang sama. Begitu pun mereka yang malas dan rajin.

Aku berusaha keras untuk dia dan dia hanya bersantai membuka telapaknya ke atas. Ternyata apa yang didapat pun sama saja. Semua bermuara ke tempat yang sama.

Kekayaan, hikmat pengetahuan, dan apapun yang telah kukejar dan kukumpulkan pada akhirnya diberikan kepada mereka yang tidak pernah berupaya mendapatkannya.

Si Bijak mengembara dengan berbagai pertimbangan matang dan Si Bodoh lupa bahwa ia dalam pengembaraan. Tak ada yang menyadari bahwa pengembaraan itu hanyalah sia-sia dan usaha menjaring angin.

Ketika berada di ujung, hanya kematianlah yang dapat kita tuju.

Sang Penjaring Angin tak ingin menerimanya dan berusaha mencari tujuan akhir lain. Mungkinkah akan ditemukan ending yang berbeda? Ataukah memang tak ada ujungnya?

Kita menangis saat lahir, namun orang sekitar menyambut dengan senyuman. Kita tersenyum saat mati, namun orang sekitar melepas dengan tangisan. Semua hanya berputar.

Saat gunung merapi meletus kematian melanda, namun itulah cikal bakal kehidupan. Pernahkah kita anggap bahwa Sang Gunung itu jahat? Semua hanya berputar.

Kebaikan pun bersembunyi saat kejahatan tak kunjung muncul. Tak pernah dikatakan sehat bila memang sakit itu tidak ada sebagai perbandingan. Adakah akhir di sana, bila awal pun tak menunjukkan batang hidungnya? Semua hanya berputar.

Saat kusadari bahwa perputaran tak berujung, aku pun takut. Belum siapkah aku menerima Kebenaran?

Kegelisahan muncul. Pikiran yang dirombak semakin terombang-ambingkan.

Adakah makna di balik semua ini? Ataukah memang proses merupakan makna?

Mereka menempuh pendidikan untuk ijazah (bukan ilmu?). Namun bukan ijazahlah yang dituju.

Ijazah dipakai untuk mencari pekerjaan bergengsi. Namun bukan pekerjaanlah yang dituju.

Pekerjaan digunakan untuk mendapatkan uang. Namun bukan uanglah yang dituju.

Uang itu terpakai untuk membeli makanan. Namun semua tetap saja tidak berhenti pada makanan.

Makanan digunakan untuk hidup. Namun apa arti hidup itu bila pada ujungnya kematianlah yang menanti?

Apakah kematian merupakan tujuan hidup akhir Sang Penjaring Angin?

Seperti biji yang harus mati dahulu baru menghasilkan buah yang berlimpah. Begitu pun di balik kematian ada harapan akan kehidupan.

Mungkinkah ada kehidupan abadi yang bahagia setelah kematian? Ataukah itu hanya dongeng penenang bagi Sang Penjaring Angin yang tak berdaya di depan Sang Kebenaran?

Satu hal saja yang disyukuri dan diimani Sang Penjaring Angin.

“Kemampuan menyadari dan menikmati saat ini adalah sebuah berkat.”

Sarijadi, 27 Mei 2015

08:47

 

Lebih lengkap: https://penjaringangin.wordpress.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun