Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Trilema: Perkotaan Properti dan Pertumbuhan Ekonomi Demi Kepentingan Publik

2 Juni 2024   22:37 Diperbarui: 6 Juni 2024   11:48 875
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peraga-8 Rusunawa Jakarta - Jakrev.com 

Pertumbuhan Menuju Indonesia Emas 2045

Trilema merupakan ungkapan terhadap gambaran pada tiga hal yang sulit diterima atau dicapai secara bersamaan. Dalam kehidupan masyarakat masing-masing akan memiliki pandangan terhadap setiap aspek yang berkaitan dengan kepentingan dan manfaat pada dirinya. 

Sebagai sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik yang diadopsi dari kata ResPublica yang diadopsi dari Bahasa Latin maka yang berkaitan pada barang publik haruslah ditujukan demi dan untuk kepentingan publik secara merata. 

Ungkapan tersebut memang terkesan retorik namun demi kepentingan publik itulah maka negara wajib menyelanggarakan dan menyediakannya; seperti yang diamanatkan dalam konstitusi dan serta dalam UU No. 25 tahun 2009 tentang penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Perkotaan Properti dan Pertumbuhan Demi Kepentingan Publik: Arnold M
Perkotaan Properti dan Pertumbuhan Demi Kepentingan Publik: Arnold M

Artikel ini memilih lingkup atau aspek yaitu Penyelenggaraan Perkotaan, Penyediaan Perumahan, dan Pengupayaan Pertumbuhan Ekonomi yang erat berkaitan dengan pencapaiaan tingkat kesejahteraan dan kemakmuran; dan jika dikaitkan dengan Pendapatan Menengah tentunya tingkat pendapatan masyarakat yang dihitung berdasarkan Pendapatan Domestik Bruto melewati batas atas Pendapatan Menengah.

Gambaran dan proyeksi tentang tingkat pendapatan tersebut diberikan pada Peraga-1.

Peraga-1: Skenario Pendapatan Per Kapita Menuju Indonesia Emas 2045 - Arnold M
Peraga-1: Skenario Pendapatan Per Kapita Menuju Indonesia Emas 2045 - Arnold M

Pada 2045 batas bawah (threshold) pendeapatan tinggi (high income) berada pada kisaran USD 25 K. Dengan menggunakan CAGR (Compounded Annual Growth Rate) masing-masing dengan skenario:
1. Eagle atau Rajawali - CAGR 8,5% - Pendapatan Per Kapita: USD 25,515 - di atas threshold 

2. Butterfly atau Kupu-kupu - CAGR 7% - Pendapatan Per Kapita: USD 21,482 - di bawah threshold

3. Chamelon atau Bunglon - CAGR 5,5% - Pendapatan Per Kapita: USD 16,197 - di bawah threshold

Dengan demikian demi lolos middle income atau pendapatan menengah menjadi pendapatan tinggi memerlukan tingkat pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) berdasarkan CAGR sebesar 8,5%. 

Pertumbuhan tinggi memerlukan investasi masif pada berbagai sektor terutama infrastruktur; namun tren aliran investasi global mengindikasikan turun seperti pada Peraga-1.

Peraga-2 Tren Aliran Investasi - OECD
Peraga-2 Tren Aliran Investasi - OECD

Sementara pada sisi lain yaitu perdagangan global, gambarannya dapat dilihat pada Peraga-3.

Peraga-3 Tren Perdagangan Global - UNCTAD 
Peraga-3 Tren Perdagangan Global - UNCTAD 

Usai gelombang pandemi Covid-19, pertumbuhan perdagangan sempat melonjak tetapi kemudian mengalami penurunan yang sangat signifikan sehingga sulit berharap pada perdagangan global untuk mendongkrak pertumbuhan. 

Dengan kondisi global yang belum lepas dari badai inflasi dan tekanan pada nilai tukar mata uang, dongkrakan pertumbuhan ekonomi dilakukan melalui fiskal dengan berbagai stimulus, yang berimplikasi pada defisit neraca anggaran dan peningkatan utang pemerintah. 

Tetapi memang hal demikian merupakan pilihan terbaik agar terhindar dari perekonomian yang menyusut atau shrinking economic; faktor lokomotif pertumbuhan perlu diidentifikasi dan digunakan untuk menarik pertumbuhan berbagai sektor lainnya. 

Kawasan Perkotaan

Salah satu faktor yang penting diperhatikan adalah pada 2035 jumlah populasi di kawasan perkotaan, sebagai implikasi dari urbanisasi, akan berada pada kisaran 65% - 67%. Dengan besaran tersebut maka kawasan perkotaan menjadi sentra pertumbuhan yang merupakan pergeseran dari sebelumnya rural. Pertumbuhannya perlu diperhatikan dan didorong dengan pendekatan yang disebut urbanomika seperti yang diberikan pada Peraga-4 berikut ini.

Peraga-4: Urbanomika - Arnold M
Peraga-4: Urbanomika - Arnold M

Urbanomika merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Kawasan Perkotaan yang mencakup antara lain: daya dukung, daya tampung, daya tarik, daya bangkit, dan daya kelola.

Ulasan tentang Urbanomika dapat dilihat pada artikel Kutukan Urban (Kawasan Perkotaan): Kemacetan - Kesenjangan - Kumuh yang juga memberikan gambaran tentang kawasan perkotaan serta permasalahan pada kawasan Greater Jakarta atau Jabodetabekjur.

Kawasan perkotaan merupakan faktor penting untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Sebagai pembanding, pada negara seperti RRT (Republik Rakyat Tiongkok) ada sekitar 50 kawasan perkotaan dengan populasi di atas 2 juta, sedangkan di Indonesia kurang dari 10 antara lain: Jakarta (Pusat, Timur, Selatan, Barat, Utara) dengan populasi sekitar 11 juta, Surabaya: sekitar 3 juta, Bandung: 2,55juta, Medan: 2,53 juta, Bekasi: 2,49 juta. 

Berdasarkan realitas tersebut, pengembangan kawasan perkotaan perlu menjadi perhatian dan gambarannya seperti pada Peraga-5.

Peraga-5 Metro / Kawasan Perkotaan Indonesia Menuju 2045 - Arnold M
Peraga-5 Metro / Kawasan Perkotaan Indonesia Menuju 2045 - Arnold M

Berdasarkan proyeksi di atas teridentifikasi 25 kawasan perkotaan dengan Kawasan Greater Jakarta (Jakarta dengan perkotaan sekitarnya yang dalam UU Daerah Khusus Jakarta disebut sebagai aglomerasi Jabodetabekjur) menjadi yang terbesar di Nusantara dan juga di dunia (lebih besar daripada Greater Tokyo). 

Menggunakan tinjauan berdasarkan Ekonomi Geografi dapat juga dilakukan pendekatan regional seperti berikut ini:

1. Sumatera: Regional Utara Medan - Banda Aceh - Sibolga; Regional Tengah poros Padang - Pekanbaru; Regional Selatan: Palembang -Jambi - Bengkulu - Bandar Lampung; Regional Laut: Kepulauan Riau dan Bangka Belitung

2. Jawa: seperti pada Peraga-3

3. Kalimantan: Kawasan Barat Pontianak - Tengah: Banjarmasin - Palangkaraya - Timur: Balipapan - Nusantara - Samarinda - Tarakan

4. Bali - Nusa Tenggara: Denpasar - Mataram - Kupang

5. Sulawesi: Regional Makasar - Palu, Regional Manado - Gorontalo - Kendari

6. Maluku Papua: Regional Maluku Utara - Ambon, Regional Papua Sorong dan Papua Barat, Regional Jayapura dan Papua Timur

Tinjauan wilayah di atas sekadar contoh yang berdasarkan kedekatan namun perlu pendalaman untuk mendapatkan faktor yang berpengaruh demi sinergi dan kolaborasi pada masing-masing regional yang kemudian mewujud menjadi aglomerasi. 

Sebagai pendongkrak pertumbuhan ekonomi, kawasan perkotaan perlu ditumbuh-kembangkan tidak hanya memperhatikan urbanomika tetapi menghadirkan kelayakhidupan (liveability) yang mencakup aspek perekonomian, aspek sosial dan lingkungan; serta tentunya pelayanan publik yang erat dengan infrastruktur dan hunian bagi masyarakat. Sementara pada aspek perekonomian dan sosial erat berkaitan dengan lapangan kerja dan pendapatan serta masalah komunitas dan hidup bersama. 

Pada aspek lingkungan perlu perhatian akan tantangan perubahan iklim yang menghadirkan fenomena kekeringan (drought) atau banjir (flood) serta realitas kawasan perkotaan yang berkontribusi 70% terhadap efek rumah kaca dan emisi (WEF Report). 

Pertambahan populasi pada kawasan perkotaan akan hadirkan tantangan yang dikenal sebagai Efek Malthus seperti pada Peraga-6, terutama pada masalah penyediaan (supply) pangan, energi, dan air bersih dengan mengambil contoh pada kawasan Greater Jakarta.

Peraga-6 Efek Malthus pada Greater Jakarta - Arnold M
Peraga-6 Efek Malthus pada Greater Jakarta - Arnold M

Pertambahan penduduk akan mengakibatkan pertumbuhan pesat pada kebutuhan pangan, energi, dan air sehingga penyediaan dan pemenuhannya yang secara keseluruhan akan berkaitan dengan erat dengan Tata Kelola (Governance) kawasan perkotaan; kegagalan dalam penanganan akibat mengakibatkan krisis yang diprakirakan terjadi pada pertengahan dekade 2030an. 

Dalam penyelenggaraan layanan publik aspek fiskal menjadi Critical Success Factors (Faktor Keberhasilan Kritikal) yang tidak semata pada peningkatan sisi pendapatan tetapi pada kreasi dan kondusivitas kegiatan perekonomian yang mampu memberikan lapangan kerja dan pendapatan. 

Dalam hal kawasan perkotaan yang menjadi main-stream adalah sektor ekonomi services (pelayanan) bukan lagi sektor primer (pertanian dan pertambangan) atau sektor proses dan manufacturing serta berbagai industri yang berada pada lingkungan luar kawasan perkotaan. Dengan demikian kreativitas dan inovasi dalam pengembangan sektor pelayanan atau services menjadi faktor kunci.

Properti dan Lokomotif Pertumbuhan Ekonomi

Properti pada kawasan perkotaan layak menjadi lokomotif pertumbuhan perekonomian karena kegiatannya dari hulu hingga hilir melibatkan sekitar 175 sektor usaha (Kajian REI 2022) dan tentu akan memberikan lapangan kerja bagi masyarakat. 

Kegiatan yang berkaitan denga properti ini meliputi pembangunan dan pemeliharaan pada gedung atau buiding seperti perkantoran, pertokoan; bangunan residensial yang berkaitan dengan perumahan bagi berbagai strata masyarakat, serta fasilitas publik atau umum yang berkaitan langsung dengan pelayanan publik.

Jika merujuk pada kinerja 2022, kontribusi sektor Properti, Real Estate, dan Konstruksi terhadap Produk Domestik Bruto pada besaran hampir 15% sehingga dapat dipandang sebagai tulang punggung perekonomian dan aktivitasnya bagai lokomotif yang menarik kegiatan pada sektor lain. 

Namun realitas yang harus dipahami adalah kenaikan harga pada faktor terkait seperti harga lahan, material, upah yang akan berdampak pada harga jual seperti digambarkan sebagai indeks pada Peraga-7 berikut ini.

Peraga-7 Indeks Harga Properti Residensial - Tech In Asia
Peraga-7 Indeks Harga Properti Residensial - Tech In Asia

Gambaran kenaikan tersebut akan berdampak terhadap beban konsumen.

Dalam hal penyediaan hunian atau perumahan bagi masyarakat, sering dirujuk pada angka backlog perumahan yang berada pada kisaran 12,7 juta atau jumlah yang tidak mendapatkan hunian terutama pada kaum MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). 

Berbagai upaya dan intervensi pemerintah melalui subsidi sudah diberikan tetapi sejak Program Sejuta Rumah diluncurkan pada 2015 besaran backlog malah bertambah dari kisaran 11 juta menjadi 12,7 juta. 

Pembahasan hal perumahan di kawasan perkotaan dibatasi pada penyedian bagi MBR sedangkan pada strata lainnya dipandang sudah berjalan dengan mekanisme pasar (supply - demand) walaupun tidak tertutup peluang pemerintah untuk juga melakukan intervensi dengan menggerakkan aktivitas pembangunannya.`

Narasi: setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik sebagaimana tertulis dalam UUD 1945 pasal 28H secara sederhana dipahami sebagai pemilikan tempat tinggal atau perumahan. Sehingga berbagai upaya yang dilakukan ditujukan agar masyarakat memiliki rumah sendiri dengan pembelian langsung atau cicilan / kredit. 

Namun selayaknya pemahaman bertempat tinggal tanpa harus memiliki tetapi jaminan dapat bermukim pada tempat dan lingkungan yang layak. Dengan demikian dapat bergeser dari pembangunan menjadi penyediaan pemukiman bagi warga masyarakat. Dalam kontroversi yang berlangsung dengan tabungan perumahan rakyat diberikan gambaran sebagai berikut.

Warga masyarakat MBR yang bekerja dengan pendapatan bulanan Rp5.000.000,-, wajib menyerahkan sebagai tabungan sejumlah Rp125.000,- ditambah subsidi dari pemberi kerja 0,5% atau Rp25.000,- sehingga total Rp150.000,-. 

Andaikata dana tersebut dipupuk sebagai tabungan memberikan imbalan sebesar 6% per tahun maka dalam waktu 20 tahun nilai tabungan Rp69.306.134,- atau hampir Rp70.000.000. 

Saat ini harga rumah sederhana yang mendapatkan berbagai bantuan Rp166.000.000,-; dengan memperhatikan rerata inflasi tahunan 3% setelah 20 tahun harganya menjadi Rp299.184.464,- atau hampir Rp300 juta. 

Dengan demikian pada penghujung masa tabungan 20 tahun masih kekurangan dana sekitar Rp300 juta - Rp70 juta atau sekitar Rp230 juta - jumlah ini jelas lebih besar dari beban saat ini yang hanya seharga rumah Rp166 juta. 

Model ini jelas pemilikan rumah dengan dukungan tabungan tabungan bukan cara yang tepat. Dalam masa penantian tersebut warga masyarakat MBR masih perlu menyewa pemukiman misalnya secara bulanan dengan beban Rp800.000,- sehingga secara total per bulan dari pendapatan Rp5.000.000 perlu pengeluaran sebesar Rp800.000,- + Rp125.000,- atau Rp925.000,-. 

Sebagai alternatif diberikan solusi sebagai berikut. Warga masyarakat MBR dapat menyewa satu unit rusunawa (rumah susun sederhana sewa) senilai Rp800.000,-. Gambaran rusunawa diberikan pada Peraga-8 berikut ini.

Peraga-8 Rusunawa Jakarta - Jakrev.com 
Peraga-8 Rusunawa Jakarta - Jakrev.com 

Merujuk pada sewa rusunawa di Jakarta, besar sewa bagi Rp500.000,- dan selanjutnya sisanya Rp300.000,- dibukukan sebagai tabungan. Dalam 20 tahun nilai tabungan akan menjadi Rp138.000.000 dan warga masyarakat MBR tersebut mendapatkan opsi untuk melanjutkan sewa dengan biaya yang sama namun yang disisihkan sebagai tabungan sebesar Rp500.000,-. 

Dengan demikian untuk setelah 10 tahun besar tabungan secara keseluruhan menjadi tabungan masa 20 tahun pertama Rp248.000.000 dan tabungan masa 10 tahun selanjutnya Rp82.000.000 atau jumlah keseluruhan Rp330.000.000. 

Dengan dana tersebut memberikan kebebasan dalam memilih perumahan yang layak dan terjangkau yang diinginkan. Ilustrasi yang diberikan beserta angka-angka ini sekedar gugahan untuk melihat opsi sewa yang kelak berujung pada pemilikan sebagai opsi yang dapat menjadi pertimbangan dengan pemahaman bermukim tanpa memiliki (Occupy without Own).

Merujuk pada besaran backlog 12,7 maka pendekatan dalam identifikasi yang belum mendapatkan pemukiman selayaknya tidak dengan pendekatan statistik tetap dengan data atau informasi yang akurat dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dapat menjadi sumber informasi yang tepat. 

Melalui pemanfaatan DTKS maka intervensi terhadap target masyarakat dapat lebih tepat dan efisien dalam pemanfaatan berbagai bantuan dan atau subsidi perumahan. Tinjauan terhadap pemanfaatan platform data DTKS dapat dilihat dalam artikel Tinjauan Berplatform Data, Hunian sebagai Masalah Sosial Masyarakat.

Semoga artikel ini jadi pemicu untuk pendalaman/pengayaan demi menuju Indonesia Emas 2045 dan capai Pendapatan Tinggi.

Penulis: S. Arnold Mamesah

Analis Housing & Urban Development

Awal Juni 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun