Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kutukan Urban (Kawasan Perkotaan): Kemacetan - Kesenjangan - Kumuh

7 Februari 2024   23:39 Diperbarui: 8 Februari 2024   11:16 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peraga-4 : Kawasan Perkotaan Indonesia (Proyeksi) - sumber : Arnold dengan pengolahan

Relitas Kawasan Perkotaan Greater Jakarta

Dalam percakapan SaBot (Santai Berbobot) via kanal Youtube SaBot ditampilkan obrolan seputar lagu dan lingkungan dan salah satu yang diputar adalah Another Day in Paradise dari penyanyi dekade 1980an Phil Collins. 

Pada percakapan diulas tentang latar belakang lagu yang menggambarkan kemiskinan di metropolitan (kota besar) New York - USA yang merupakan kota dengan Gross Domestic Product (GDP) terbesar di dunia di atas kota besar lainnya seperti Tokyo, London, Shanghai, Paris yang merupakan Top-5 (lihat Peraga-1 - sumber : https://pwc.blogs.com/files/global-city-gdp-rankings-2008-2025.pdf)

Peraga-1 : Metropolitan GDP Rank : https://pwc.blogs.com/files/global-city-gdp-rankings-2008-2025.pdf
Peraga-1 : Metropolitan GDP Rank : https://pwc.blogs.com/files/global-city-gdp-rankings-2008-2025.pdf
Metropolitan Jakarta (Greater Jakarta) berada pada peringkat-49 walaupun berdasarkan populasi merupakan terbesar di dunia, karena realitasnya sudah lebih besar dari Greater Tokyo (Lihat Peraga-2 : Top-20 World Urban by Population)

Peraga-2 : Top-20 Urban by Population - sumber : Worldatlas.com
Peraga-2 : Top-20 Urban by Population - sumber : Worldatlas.com
Pemahaman Greater Jakarta atau Jabodetabek Punjur (Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi Puncak Cianjur) sering dipandang sebagai perluasan Jabodetabek dengan realitasnya seperti pada pada Peraga-3

Peraga-3 : Realitas Greater Jakarta - sumber : nightearth.com
Peraga-3 : Realitas Greater Jakarta - sumber : nightearth.com

Gambaran Greater Jakarta seperti pada Peraga-3 ternyata telah mencakup Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjut, Karawang, Cikampek, Purwakarta, Serang, Cilegon. Sementara Kawasan Perkotaan di Indonesia yang sudah ada dan yang diprakirakan akan hadir diberikan pada Peraga-4.

Peraga-4 : Kawasan Perkotaan Indonesia (Proyeksi) - sumber : Arnold dengan pengolahan
Peraga-4 : Kawasan Perkotaan Indonesia (Proyeksi) - sumber : Arnold dengan pengolahan

Selanjutnya dalam tulisan ini ditinjau ihwal kemacetan, kesenjangan, dan kumuh dengan memperhatikan beberapa fenomena yang terjadi saat ini serta memperhatikan masalah lingkungan terutama perbahan iklim dan efek Maltus (Peraga-5).

Peraga-5 : Efek Malthus - sumber Arnold M dengan pengolahan
Peraga-5 : Efek Malthus - sumber Arnold M dengan pengolahan

Dari Peraga-5 dapat dilihat ledakan mobilitas sejalan dengan pertambahan penduduk dengan urbanisasi serta peningkatan kesejahteraan yang merubah perilaku dalam penggunaan kendaraan pribadi atau publik (Public Transport) serta pemilihan dan penentuan permukiman yang kian tersebar serta tempat kerja. Sementara kehadiran El Nino dan La Nina berimplikasi pada perubahan cuaca dan ancaman bencana kering atau kemarau (drought) dan banjir (flood).

Kemacetan Kota Besar - Metropolitan

Merujuk pada TomTom Report berkaitan dengan kemacetan (Traffic Index ranking | TomTom Traffic Index ) gambarannya diberikan pada Peraga-5

Peraga-6 : Metro Traffic Index Ranking - sumber : Traffic Index ranking | TomTom Traffic Index )
Peraga-6 : Metro Traffic Index Ranking - sumber : Traffic Index ranking | TomTom Traffic Index )

Dari Peraga-5 ditemukan peringkat kota di Europe dengan kemacetan tinggi antara lain : London (UK), Dublin (Ireland), Milan (Italy), Bucharest (Romania), Paris (Perancis); sedangkan di Amerika Utara : New Mexico (Mexico), New York (USA), Toronto (Canada), Vancouver (Canada), Washington (USA); dan di belahan Asia antara lain : Bangaluru (India), Sapporo (Japan), Pune (India), Manila (Filipina), Taichung (Taiwan) - Tokyo (Japan) pada peringkat-8 disusul Jakarta (Indonesia). Sulit membayangkan Tokyo yang lebih macet daripada Jakarta tetapi demikianlah hasil pengamatan TomTom.

Populasi Greater Jakarta yang mencapai kisaran 42 juta terus bertambah sebagai dampak urbanisasi ataupun pertumbuhan penduduk pada ruang (spasial) yang tidak bertambah dikenal sebagai fenomena (Sumber); dan sejalan dengan efek pertambahan populasi bukan saja pada kebutuhan pangan tetapi energi, air, ruang, mobilitas, permukiman yang berimplikasi pada kesenjangan.

Berkaitan dengan mobilitas dengan bumbu kemacaten, beberapa catatan yang perlu diperhatikan antara lain :

1. Pertumbuhan Ekonomi Nasional / Regional yang berdampak pada kesejahteraan dan mobilitas serta angkutan barang (Logistik)

2. Pertumbuhan kendaraan selaras dengan perkembangan teknologi antara lain : Autonomous Vehicle (aV), Electric Vehicle (eV), Fuel Vehicle (fV) dan Hydrogen Vehicle (hV)

3. Kemunculan Transportasi Publik Massal seperti MRT (East West Lane) dan perluasan MRT yang ada, perluasan layanan LRT (Light Raiway Transit. 

Secara khusus perlu dipahami bahwa pertambahan kendaraan secara rerata pada kisaran 6% (lihat Peraga-7); sementara penambahan jalan (akses, arteri, jalan nasional / provinsi) tidak lebih dari 1%. Dengan demikian akan terjadi penumpukan alias kongesti / kemacetan. 

Peraga-7 : Pertumbuhan Kendaraan Bermotor - sumber BPS
Peraga-7 : Pertumbuhan Kendaraan Bermotor - sumber BPS

Menghadapi kemacetan pada jalan raya, upaya yang dilakukan adalah membangun jalan bebas hambatan berbayar atau jalan tol. Beberapa jalan tol yang telah ada antara lain Jalan Tol Dalam Kota, Jakarta Outer Ring Road I, Jakarta Tangerang (Janger), Jakarta Cikampek (Japek) yang telah ditambahkan dengan jalur MBZ Layang (Elevated), Bandara Soekarno Hatta, Kelapa Gading Pulo Gebang serta yang baru diresmikian JORR-II (Jakarta Outer Ring Road II) yang terbentang dari Cengkareng - Batu Ceper menyeberangi jalan tol bandara, jalan tol Janger, Jalan tol Desari (Depok - Antasari), Jalan Tol Jagorawi, Jalan Tol Japek melewati Cimanggis - Cibitung - hingga ke Cilincing dan berlanjut ke pelabuhan Tanjung Priok. 

Semetara JORR-III beberapa bagian sudah dalam tahap pembangunan juga pengembangan jalan tol Pondok Aren - Balaraja. Dengan berkembangnya jalan tol yang semula dikenal dengan sistem terbuka (bayar saat masuk) dan sistem tertutup (bayar saat keluar) selanjutnya akan digunakan teknologi Multi Line Free Flow (pembayaran tanpa berhenti untuk pembayaran). 

Lantas muncul pertanyaan apakah dengan pertumbuhan Transportasi Publik (MRT, LRT) dan pertambahan jalan tol dapat memenuhi kebutuhan mobilitas pada kawasan Greater Jakarta yang polanya akan semakin tinggi tingkat kompleksitasnya akan meredakan kemacetan atau kongesti ? Praduganya : Tidak dengan memperhatikan fenomena di Tokyo, New York, London seperti yang diberikan pada Peraga-5. Juga penambahan jalan baru tidak akan mampu mengejar pertumbuhan kendaraan bermotor.

Hal lain adalah pertambahan populasi akibat urbanisasi datang ke kota besar demi kehidupan yang lebih baik (better future) justru menemukan kongesti dan hal ini penjelasan pertama terhadap judul artikel ini : Kutukan Urban Kemacetan / Kongesti. 

Kesenjangan Kota Besar

Dalam membahas ihwal ini perlu memahami Urbanomika yang dapat dipahami sebagai faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan pada urban / kawasan seperti diberikan pada Peraga-8.

Peraga-8 : Urbanomika - sumber : Arnold M
Peraga-8 : Urbanomika - sumber : Arnold M

Dengan gambaran populasi 42 juta, tantangan pada Greater Jakarta adalah pada ruang atau spasial yang terbatas dengan memperhatikan ketersediaan lahan untuk berbagai kebutuhan. 

Sementara kebutuhan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan populasi agar tidak muncul kerapatan atau densitas yang tinggi yang mengancam kesehatan dan kenyamanan bermukim.

Daya dukung merupakan faktor penyediaan layanan yang mencakup PSU (Prasarana Sarana Utilitas Umum) seperti yang dicantumkan dalam Permendagri 9 tahun 2009 tentang PSU dengan daftar seperti pada Peraga-9.

 

Peraga-9 : Prasarana Sarana Utilitas Umum - sumber : Permendagri 9 2009
Peraga-9 : Prasarana Sarana Utilitas Umum - sumber : Permendagri 9 2009

Daya tarik merupakan faktor kunci demi memacu aliran investasi yang akan menciptakan lapangan kerja dan menjadi sumber pendapatan bagi pekerja dan memacu pertumbuhan ekonomi. Daya tarik bukan saja pada ukuran pasar atau konsumen tetapi juga berkaitan dengan perizinan dan insentif yang diberikan.

Daya bangkit selayaknya dipahami sebagai faktor penarik pertumbuhan pada daerah atau kawasan lain yang didukung dengan ketersediaan koneksitas serta faktor pemenuhan kebutuhan.

Daya kelola menjadi faktor kunci yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya juga fiskal yang mencakup pendapatan dan belanja pada kawasan.

Kegagalan pengelolaan faktor-faktor Urbanomika akan berimplikasi pada kondisi urban / kawasan perkotaan serta kerawanan yang timbul sering disebut penyakit masyarakat atau urban disease serta keresahan sosial (social unrest). Pengelolaan Urbanomika pada intinya mengupayakan peningkatan kesejahteraan dengan pendapatan dan daya beli demi pemenuhan kebutuhan.

Peraga-10 berikut ini memberikan gambaran bahwa peningkatan pendapatan berimplikasi pada kesenjangan atau disparitas.

Peraga-10 : Komparasi Pendapatansumber : Arnold M 
Peraga-10 : Komparasi Pendapatansumber : Arnold M 

Gambaran dengan angka yang diberikan pada Peraga-10 memberikan contoh bahwa justru dengan pertumbuhan pesat berefek pada kesenjangan. Konklusi sederhana : Kawasan Perkotaan atau Urban dengan populasi besar dan perekonomian yang bertumbuh justru akan mempercepat munculnya kesenjagan alias disparitas yang makin melebar. Dengan demikian wajar jika urbanisasi selalu menimbulkan kekecewaan dan hal ini mendukung judul Kutukan Urban : Kesenjangan

Kumuh Kawasan Perkotaan

Ihwal kumuh tidak lepas pada realitas backlog perumahan yang berada pada posisi 12,7 juta. Berbagai program diupayakan termasuk Program Sejuta Rumah dan kucuran berbagai subsidi yang meningkat justru menghasilkan backlog yang bertambah. Apakah memasifkan jumlah rumah yang dibangun pada kawasan perkotaan akan berhadapan dengan kondisi kendala lahan / spasial. Sebagai gambaran hingga 2045 diprakirakan backlog tidak dapat dieliminasi dan Peraga-11 memberikan gambarannya.

Peraga-11 : Proyeksi Perumahan dan Kawasan Permukiman sumber : Arnold M dengan pengolahan
Peraga-11 : Proyeksi Perumahan dan Kawasan Permukiman sumber : Arnold M dengan pengolahan

Beberapa catatan dalam penyediaan perumahan dan kawasan permukiman :

1. Sudah setengah abad sejak kehadiran Perumnas penyediaan perumahan dan kawasan permukiman mengandalkan pada skema Pemilikan Rumah dengan fasilitas kredit dan penyediaannya melalui pengembang

2. Berbagai bentuk subsidi seperti Subsidi Uang Muka, Subsidi Selisih Bunga dan lainnya gagal menyediakan perumahan dan kawasan permukiman yang layak

3. PKP selalu diposisikan sebagai Goods (Barang / Aset) bukan sebagai layanan

Dengan kondisi spasial terbatas pada Greater Jakarta dan kongesti dalam mobilitas yang membuat waktu perjalanan makin lama maka perlu dilakukan transformasi dalam penyediaan dan bentuk PKP. 

Yang layak menjadi pertimbangan dalam penyediaan PKP antara lain :

1. Perubahan paradigma rumah dari good menjadi services atau Housing as a Services

2. Menyediakan pilihan dan mengarus utamakan Vertical Housing pada kawasan perkotaan

3. Mereduksi waktu perjalanan dari rumah ke tempat kerja sehingga tidak berdampak pada produktivitas.

Namun permasalahan perumahan dan kawasan permukiman tidak serta merta selesai. Tantangan urbanisasi pada kawasan perkotaan / urban membutuhkan perhatian khusus. Urbanisasi yang diharapkan menjadi faktor yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada sisi lain justru menimbulkan persaingan atau kompetisi pada lapangan kerja sehingga berdampak menekan pendapatan tenaga kerja. Sementara kebutuhan hidup mengalami kenaikan selan dengan inflasi seperti juga pada biaya permukiman. 

Agar biaya transportasi rendah maka pilihannya berdomisi dekat dengan tempat kerja dan berharap biaya sewa ruang atau kamar rendah. Sementara realitasnya ruang untuk bermukim yang murah pada Kawasan Perkotaan sulit atau hampir dipastikan tidak ada. 

Demi bertahan hidup bermukim di tempat kumuh merupakan pilihan yang tidak dapat dihindari. Semakin lama kawasan kumuh akan terus bermunculan sejalan dengan kebutuhan tenaga kerja yang berpenghasilan rendah. 

Lingkar masalah pasokan tenaga kerja bertambah akibat urbanisasi - tekanan pendapatan akibat supply tenaga kerja berlebih - kebutuhan permukiman yang berefek kumuh ibarat masalah yang berkelanjutan tanpa penyelesaian. Dengan demikian dapat dikonklusikan sesuai judul bahwa Kutukan Urban : Kumuh

Kawasan Perkotaan akan terus bertumbuh seiring dengan gelombang urbanisasi yang justru menghasilkan lingkar masalah yang semakin pelik untuk diurai dan diselesaikan serta benarlah akan praduga : Kemacetan - Kesenjangan - Kumuh merupakan Kutukan Berkelanjutan bagi Urban / Kawasan Perkotaan.

S. Arnold Mamesah MA - 7 Februari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun