1. Jakarta Urban Transport Program (1986-1987),Â
2. Integrated Transport System Improvement by Railway and Feeder Service (1988-1989),Â
3. Transport Network Planning and Regulation (1989-1992), danÂ
4. Jakarta Mass Transit System Study (1989-1992).
Implementasi MRT tersebut tidak terwujud pada masa Gubernur Sutiyoso, yang kemudian dicatat sebagai penggagas dan pendorong kehadiran BRT atau Bus Rapit Transport pada 2001 sebagai cikal bakal Trans Jakarta yang beroperasi saat ini, atau juga pada masa Gubernur Fauzi Wibowo yang hanya menghadirkan badan usaha PT. MRT.Â
Eksekusi MRT terwujud pada era pasangan Gubernur Joko Widodo dan wakil gubernur Basuki Tjahja Purnama yang pada 10 Oktober 2013 melaksanakan peletakan batu pertama (Ground Breaking); peresmiannya dilakukan Presiden Joko Widodo pada 24 Maret 2019. Kehadiran MRT kemudian dilengkapi dengan LRT Jabodetabek (Light Rapit Transit) yang diresmikan pada 28 Agustus 2023. Pada era Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hadir JakLingko pada November 2018 dengan tujuan melengkapi sistem transportasi BRT, LRT dan MRT serta sistem pembayarannya.Â
Sejalan dengan pertumbuhan transportasi BRT dan MRT, muncul layanan transpotasi on line roda dua dan roda empat yang berbasis aplikasi online dan melekat dengan sebutan transportasi daring (on line) dengan operator seperti GoJek, Grab, Maxim. Layanan daring tersebut merupakan pelengkap. Sementara untuk mobilitas dari luar Jakarta (Jabodetabek) tersedia layanan dari Kereta Api Indonesia melalui KRL/KCI yang dikenal sebagai Kereta Commuter Indonesia.
Ketersediaan berbagai layanan transportasi jenis transportasi tersebut berimplikasi pada permasalahan baru karena meningkatnya jumlah pemakai sehingga fenomena sesak dan waktu perjalanan muncul sebagai tantangan. Dengan menggunakan transportasi pribadi (roda dua atau empat) atau transportasi publik (BRT, MRT, LRT) perjalanan menuju tempat kerja membutuhkan waktu antara 90 menit hingga dua jam. Â Kondisi ini jelas berdampak pada produktivitas dan keletihan sehingga memunculkan keinginan agar dapat menjangkau tempat kerja dalam waktu satu jam dari pintu rumah hingga pintu tempat kerja (door t0 door). Kondisi ini melahirkan kebutuhan akan permukiman yang berwawasan transit (TOD : Transit Oriented Development) atau secara sederhana dekat dengan akses transportasi publik (terutama yang berbasil rel) dan terkoneksi dengan jenis transportasi lainnya sehingga perjalanan berlangsung mulus serta lancar secara Asal hingga Tujuan (Origin - Destination).Â
Memahami perkembangan kebutuhan akan permukiman berbasis TOD, pemerintah DKI Jakarta merespon dan menugaskan PT. MRTJ (Moda Raya Terpadu) Jakarta untuk mengembangkannya dengan strategi memanfaatkan lokasi pada lingkungan atau kawasan sekitar stasiun MRT. Berbagai langkah dan upaya yang telah dilakukan MRT untuk mengembangkan permukiman berwawasan TOD terkesan belum berlangsung lancar dan mulus sehingga diperlukan transformasi dalam strategi dan pendekatan sejalan dengan perluasan layanan MRT sebagai kelanjutan MRT Lebak Bulus - Bundaran HI hingga Kampung Bandan dan MRT lintas Timur Barat.
Pengembangan Permukiman TOD dalam Perspektif Korporasi
Dalam Sesi Working Session yang diselenggarakan The HUD Institute bersama Kementerian PUPR, Direktorat Jenderal Perumahan khususnya Direktorat Rumah Umum dan Komersil, telah dibahas hal pengembangan TOD pada kawasan Lebak Bulus Jakarta Selatan sebagai objek telaah dan bahasan. Pihak MRTJ sebagai pemantik diskusi telah menyampaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kendala yang dihadapai walaupun menyadari bahwa diperlukan mitra investasi dalam pengembangan permukiman TOD. Dari pihak private developer yang memunculkan pertanyaan berkaitan dengan otoritas penyelenggaraan TOD. Pada sesi yang melibatkan Satuan Kerja Pemerintah Daerah DKI Jakarta diberikan gambaran tentang arah pengembangan permukiman TOD dan ihwal partisipasi mitra non pemerintah melalui berbagai bentuk KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha) serta peluang memanfaatkan aset berupa BMN/BMD (Barang Milik Negara / Barang Milik Daerah).