Perjalanan Paruh Pertama Abad XXI
Tulisan ini memberikan gugahan dan layak untuk pendalaman dan pengayaan dengan pandangan multidisiplin sejalan dengan perjalanan bangsa Indonesia menuju paruh pertama abad XXI yang menghadapi beberapa tantangan antara lain :
- Menggapai 100 tahun kemerdekaan dan memenuhi amanah konstitusi UUD 45 yaitu masyarakat adil, makmur, dan sejahtera
- Mencapai tingkatan negara dengan pendapatan tinggi (high income country) dan lolos dari klasifikasi negara berpendapatan menengah
- Arus urbanisasi dengan gelombang perpindahan penduduk dari desa atau rural menuju kawasan perkotaan dengan berbagai alasan yang utamanya untuk kehidupan yang lebih baik
Berdasarkan proyeksi pertumbuhan penduduk dengan arus urbanisasi, pada dekade ke lima (204x), dua dari tiga penduduk Indonesia akan berada di kawasan perkotaan atau urban yang merupakan kota dengan wilayah sekitar yang berbatasan. Dengan kumpulan populasi demikian maka terjadi pergeseran sentra pertumbuhan dan tidak dapat dihindari kawasan perkotaan selayaknya jadi sentra pertumbuhan ekonomi.
Hingga kini belum ada catatan negara yang berhasil menangani gelombang urbanisasi namun salah satu contoh yang dapat diadopsi adalah Tiongkok (People Republic of China) yang mengantisipasi dengan mempersiapkan kawasan perkotaan. Hingga saat ini telah ada lebih dari 50 (lima puluh) kota dengan aglomerasi (sentra industri / produksi) dan populasi lebih dari 2 juta; tiga kota besar utama dengan penduduk terbesar masing-masing Shanghai, Beijing, dan Shenzen sebuah kota baru yang mulai bertumbuh sejak medio 1980an yang hingga kini berpenduduk sekitar 18 juta.
Jika model Tiongkok akan diadopsi, hingga saat ini di Indonesia baru teridentifikasi  sekitar 9 (sembilan) kawasan perkotaan (urban) yang populasinya lebih dari 2 juta seperti diberikan pada Peraga-1.
Keterangan Peraga-1 :
No.
Kawasan Perkotaan
Cakupan
1.
Greater Jakarta – Jabodetabek Punjur
Jakarta – Bogor – Depok – Tangerang – Bekasi – Puncak – Cianjur
2.
Gerbangkertasusila
Gersik - Bangkalan - Kertasura – Surabaya – Sidoarjo – Lamongan
3.
Cekungan Bandung
Bandung – Cimahi – Bandung Barat – Sebagian Sumedang
4.
Kedungsepur
Kendal – Demak – Ungaran – Semarang – Salatiga - Purwodadi
5.
Mebidangro
Medan – Binjai – Deli Serdang – Karo
6.
Maminasata
Makassar – Kabupaten Takalar – Kabupaten Gowa – Kabupaten Maros
7.
Sarbagita
Denpasar – Badung – Gianyar – Tabanan
8.
Banjarbakula
Banjarmasin – Banjar Baru – Kuala – Tanah Laut
9.
Bimindo
Manado – Bitung - Minahasa
Selain dari sembilan urban tersebut ada beberapa lagi yang berpotensi untuk dikembangkan dari kota besar dan kawasan sekitarnya seperti Padang, Pekanbaru, Palembang, Bandar Lampung, Kawasan Serang – Cilegon, Kawasan Cirebon (dikenal dengan sebutan Kawasan Rebana), Yogyakarta (dikenal sebagai Kartamantul), Solo, Malang, Kediri, Banyuwangi Lumajang Jember, Pontianak, Kawasan Balikpapan Samarinda Nusantara (Ibukota Negara baru). Pertimbangan pemindahan ibu kota negara juga berkaitan dengan pengembangan urban dan kawasan pertumbuhan ekonomi baru yang menyebar di Nusantara.
Perihal urban, telah menjadi perhatian dan sorotan World Bank dengan menuliskan : Secara global, lebih dari 50% populasi tinggal di daerah perkotaan saat ini. Pada tahun 2045, populasi perkotaan dunia akan meningkat 1,5 kali lipat menjadi 6 miliar. Para pemimpin kota harus bergerak cepat untuk merencanakan pertumbuhan dan menyediakan layanan dasar, infrastruktur, dan perumahan yang terjangkau yang dibutuhkan populasi mereka yang terus bertambah.(Lihat Peraga-2).
Tuntutan penyediaan berimplikasi pada kebutuhan investasi terstruktur, sistematis dan masif serta dukungan pendanaan. Hal tersebut akan erat berkaitan dengan faktor fiskal (penerimaan atau pajak dan belanja termasuk investasi) menjadi faktor penting dalam pengelolaan kawasan perkotaan. Sementara sebagai dampak pertumbuhan penduduk maka lapangan kerja menjadi tantangan sejalan dengan pertumbuhan perekonomian agar dapat meningkatkan penerimaan. Dengan gambaran tersebut maka tri daya menjadi hal utama pada kawasan perkotaan yaitu daya tampung, daya dukung, dan daya tarik sehingga dapat mewujudkan kelayakhidupan bagi segenap masyarakat. Makna kelayakhidupan yang mencakup layanan, sarana, dan fasilitas tersebut harus dapat memenuhi kriteria atau kaidah 5A antara lain : ketersediaan (availability), dapat diakses (accessibility), kelayakan (adequacy), terjangkau (affordable), kepastian tanpa perbedaan (assurity). Kriteria tersebut perlu hadir bukan semata pada ukuran Standar Pelayanan Minimum pada pelayanan publik tetapi ukuran peradaban yang mengusung kesetaraan, keadilan tanpa diskriminasi serta inklusif tanpa pembedaan perlakuan.
Kawasan Perkotaan Menuju Sentra Pertumbuhan Ekonomi
Sebagai sentra pertumbuhan ekonomi dengan populasi yang terus bertumbuh dan tututan penyediaan layanan publik, faktor tridaya terutama daya tarik perlu diupayakan agar dapat terjadi aliran investasi sehingga pertumbuhan dapat langgeng.
Merujuk pada World Equity Report 2022 (https://wir2022.wid.world/) gambaran struktur sosial masyarakat diberikan sepeti pada Peraga-3. Struktur tersebut memberikan gambaran masyakat masing-masing 10% pada Above the Line (ATL), 40% pada Middle Line (MIL) dan 50% pada Below the Line (BTL).
Secara sederhana pendapatan (income) ATL secara rerata 25x BTL sedangkan MTL 4x sehingga berdasarkan pendapatan tersebut MTL dan ATL menjadi penggerak perekonomian dengan belanja atau spending terutama pada sektor konsumsi; sementara pada sisi lain akan menjadi pengguna jasa layanan  dalam berbagai bentuk. Dengan demikian kaum BTL akan memnjadi penyedia untuk pemenuhan tersebut sebagai bagian dari lapangan kerja yang memberikan pendapatan. Demikianlah gambaran sederhana sektor layanan jasa akan bergulir pada kawasan perkotaan.
 Sementara aglomerasi pada kawasan perkotaan membutuhkan rantai industri dan rantai pasok yang saling melengkapi baik dalam kawasan maupun antar kawasan perkotaan baik domestik maupun internasional. Dengan keterkaitan rantai industri dan rantai pasok maka akan saling mengangkat pertumbuhan perekonomian dan memberikan lapangan kerja.Â
Demikianlah gambaran kawasan perkotaan yang secara agregasi akan juga mejadi pasar atau membutuhkan pasokan dari kawasan rural dengan berbagai produk agro dan terbentuk relasi urban rural yang saling membutuhkan dan melengkapi sehingga perekonomian bergulir.
Tata Kelola Kawasan Perkotaan
Dalam mewujudkan penyediaan layanan serta menggerakkan pertumbuhan ekonomi dengan dukungan industri pada aglomerasi melahirkan tantangan pada tata kelola yang erat berkaitan dengan fiskal dan pembangunan yang membutuhkan dukungan dana. Dalam hal tata kelola itni akan muncul tantangan untuk membuka partisipasi dari berbagai pihak dan menghadirkan pola kerjasama dalam penyediaan dan pengelolaan layanan serta berbagai hal lain termasuk pemanfaatan aset dalam bentuk monetisasi.
Kawasan perkotaan perlu dipersiapkan dan tidak bertumbuh secara sporadis sehingga perlu perencanaan dan tahapan seperti gambaran pada Peraga-4
Dengan prakiraan rentang waktu 20 (dua puluh) tahun tahapan dan cakupannya antara lain diberikan pada berikut ini :
- Perencanaan yang mencakup penyusunan rencana yang berkaitan dengan tata ruang dan zonasi serta pengaturan yang merujuk pada bakuan serta regulasi yang berlaku serta suara masyarakat (voice of people).
- Langkah Awal pada tahun ke 4 hingga 7 merupakan perwujudan awal dari rencana dengan melakukan modifikasi serta perbaikan sebagai respon terhadap kebutuhan dan memperhatikan masukan yang ada.
- Tahapan Bangkit mencakup tahun ke-8 hingga 12 dengan penyelesaian rencana awal dan melakukan perencanaan lanjutan untuk percepatan
- Tahapan Percepatan masa tahun ke-13 hingga 16 yang merupakan upaya optimal untuk mencapai tujuan ideal berdasarkan rencana awal dan pemenuhan kelengkapan kawasan perkotaan dengan memperhatikan tridaya.
- Tahapan Stabil atau Mapan merupakan masa tahun 17-20 dengan memastikan pemenuhan layanan dan menghadirkan kelayakhidupan. Jika kondisi ideal belum tercapai maka perlu dilakukan modifikasi dan penyesuaian.
Sejalan dengan perkembangan kesejahteraan dan kemakmuran global maka akan terjadi mobilitas penduduk dan salah satunya dalah traveling yang berkaitan dengan bisnis maupun leisure atau pariwisata. Hal demikian juga akan menjadi tantangan pada kawasan perkotaan dalam pengembangan ekonomi khususnya dalam memfasilitasi mobilitas masyarakat. Kehadiran Electronic Vehicle bukan solusi tetapi penguatan dan pemberdayaan transportasi publik yang selaras dengan pengengalian kemacetan dalam perjalanan dengan keterbatasan ruang untuk memfasilitasi kendaraan. Pengendalian dan pengutan transportasi publik perlu memperhatian perilaku masyarakat dalam mobilitas sehingga penyediaan transportasi publik yang layak perlu menjadi perhatian. Sejalan dengan hal tersebut adalah menjawab tantangan perkembangan teknologi digital dengan smart city juga berbagai bentuk berbagi fasilitas yang dikenal sebagai sharing economic. Juga perkembangan recycle economic perlu mendapatkan perhatian khususnya dalam pengelolaan sampah. Sementara konektivitas antar kawasan perkotaan perlu juga difasilitasi dengan keberadaan transportasi udara serta High Speed Train. Dengan struktur masyarakat yang terus meningkat kemampuannya maka tidak dapat dielakkan bahwa Middle Income yang juga mencakup High Income menjadi motor penggerak perekonomian dan sumber penerimaan. Dengan kondisi demikian kembali Tata Kelola Kawasan Perkotaan menjadi hal penting dan krusial agar lingkungan kawasan perkotaan dapat menghadirkan kelayahidupan. Gambaran mobilitas dan model perekonomian secara umum gambarannya diberikan pada Peraga-5.
Hal penting yang memerlukan perhatian dalam pengelolaan kawasan perkotaan adalah penyediaan perumahan yang memenuhi kaidah 5A. Pemahaman memiliki rumah untuk hunian perlu diganti dengan menempati hunian tanpa harus memiliki asalkan ketersediannya terjamin (Secure Tenure on Occupy without Own).
Berdasarkan pengalaman dalam dua dekade terakhir pendetakan penyediaan perumahan dilakukan dengan berbagai intervensi seperti subsidi. Tetapi pada kenyataannya backlog perumahan terus meningkat dan pada 2023 menyisakan angka 12,7 Juta yang maknanya 12,7 juta keluarga tidak memiliki hunian. Tidak ada program yang dapat memastikan keberhasilan penyediaan perumahan tetapi secara umum pendekatan dengan menggunakan Housing Continuum dapat dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan lokasi dan kelayakan dan disesuaikan dengan strata masyarakat namun tetap menghadirkan kesetaran. Dengan pendekatan Housing Continum maka pembangunan membutuhkan strategi yang sistematis, terstruktur, dan masif dengan memberdayakan ruang termasuk memanfaatkan lahan yang tidak tidak digunakan atau mengoptimalkan ruang yang ada. Gambaran Housing Continum diberikan pada Peraga-6.
Gambaran Peraga-6 menyiratakan penyediaan perumahan akan melibatkan pemahaman multi sektor – mulit aktor – multi wilayah yang terkolaborasi dan terkendali dengan peranan pemerintah tetap sebagai faktor utama.
Dengan penanganan hal penyediaan pemukiman, mobilitas, dan perekonomian dalam suatu tata kelola yang senantiasa memperhatikan kaidah 5A maka dapat diharapkan kawasan perkotaan akan mampu menghadirkan kelayakhidupan yang bebas dari kumuh, kemacetan, dan kemiskinan Dan menjqadi sentra pertumbuhan ekonomi
Memahami tantangan Kawasan Perkotaan, Perumahan, dan Perekonomian secara utuh memunculkan gagasan agar ihwal ini kelak menjadi satu kesatuan sektor yang dikelola dalam kemanterian Perumahan dan Pengembangan Kawasan Perkotaan atau dikenal sebagai Housing and Urban Development. Semoga bermanfaat dan dapat terwujud.
Minggu pertama Agustus 2023
S. Arnold Mamesah MA – Sekum The HUD Institute.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI