Tumbuh Dalam Gejolak
Perekonomian Indonesia Triwulan-2 2018, berdasarkan pengumuman Badan Pusat Statistik pada 6 Agustus 2018, tumbuh 5.27% dibandingkan masa yang sama pada 2017. Dibandingkan dengan Triwulan-1 2018, angka pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) mengalami peningkatan yang berarti yaitu 0.2%. Sementara kondisi perekonomian global mengalami tekanan akibat iklim perang dagang (Trade War) yang digaungkan Presiden USA Donald Trump; yang bermaksud untuk menekan defisit pada neraca perdagangan USA serta secara khusus defisit terhadap China .Â
Sementara Bank Sentral USA, The Fed, sedang dalam masa menormalisasi suku bunga acuan (Fed Fund Rate). Selama 2018 direncanakan akan terjadi 4 (empat) kali kenaikan dan hingga Juni 2018 telah terjadi dua kali. Dampak langsung yang timbul secara global adalah penguatan mata uang USA (USD) terhadap berbagai mata uang dunia termasuk Rupiah (IDR).
Sebagai gambaran, pada Peraga-1 diberikan pertumbuhan PDB Triwulanan masing-masing untuk Indonesia, USA, dan China.
Dibandingkan dengan Triwulan-1 2018 (triwulanan - q2q), Indonesia tumbuh 4.21%, USA 4.1%, dan China hanya 1.8%; dalam 8 (delapan) triwulan terakhir, tren pertumbuhan (tahunan-yoy) USA dan Indonesia naik sementara China turun.Â
Perdagangan Global dan Nilai Tukar
Dari kajian WTO (World Trade Organization), Indeks Partisipasi Indonesia pada Rantai Nilai Global (GVC : Global Value Chain) berada pada kisaran 43.5; artinya sekitar 43.5 % dari nilai ekspor Indonesia berpartisipasi dan menjadi bagian dari GVC. Berdasarkan Indeks Partisipasi tersebut, jika gejolak Trade War berdampak pada perdagangan global turun misalnya 10% maka akan terjadi penurunan ekspor Indonesia sekitar 4%.Â
Dampak Trade War terhadap Indonesia khususnya perdagangan dengan USA, diberikan pada Peraga-2.
Dari data dan grafik tren impor USA dari Indonesia (atau ekspor Indonesia ke USA) naik dan demikian juga surplus perdagangan bagi Indonesia.
Peraga-3 memberikan gambaran suplus perdagangan China terhadap USA.Â
Berdasarkan tren surplus China naik tetapi jika dibandingkan semester-1 2018 dengan semester-2 2017, terjadi penurunan hampir USD 20 Miliar.
Dalam 3 (tiga) bulan terakhir, terhadap mata uang Amerika (USD), Rupiah (IDR) mengalami depresiasi (penurunan nilai tukar); demikian juga dengan mata uang China Renminbi (CNY). Tetapi penguatan USD menjadi "Mata Uang Kuat" (Strong Currency) berdampak pada perekonomian USA yang mengalami Double-D Problem yaitu Defisit Perdagangan (Trade Deficit) dan Defisit Anggaran (Budget Deficit) meningkat.Â
Apa yang mempengaruhi kenaikan nilai tukar USD ? Grafik pada Peraga-3 di bawah ini menunjukkan bahwa naiknya yield (imbalan) US Treasury berdampak pada kenaikan nilai tukar USD terhadap mata uang global termasuk IDR. Penguatan mata uang USD ini akan berimplikasi pada peningkatan defisit dan beban utang USA.Â
Prakiraan Pertumbuhan 2018
Kenaikan harga minyak mentah dunia (International Crude Price) memang berdampak tekanan pada anggaran belanja pemerintah; tetapi tidak lantas menekan pertumbuhan. Dana THR yang dikucurkan menjelang hari raya merupakan faktor penting meningkatkan konsumsi masyarakat. Sementara penyaluran dana bantuan melalui Program Keluarga Harapan dengan sasaran Keluarga Penerima Manfaat, walaupun masih membutuhkan perbaikan tetapi bermanfaat mendorong pertumbuhan. Pembangunan infrastruktur yang terus bergulir telah menunjukkan hasil (lihat artikel : Capaian Infrastruktur dalam Kemelut Defisit dan Subsidi). Aliran dana masuk penanaman modal asing telah menunjukkan peningkatan. Mencapai target pertumbuhan 5.4% sesuai dengan APBN 2018 mungkin saja sulit. Tetapi dengan capaian Triwulan-1 dan Triwulan-2 2018, angka pertumbuhan PDB 2018 pada kisaran 5.2% - 5.3% merupakan prakiraan yang wajar.
Arnold Mamesah - 7 Agustus 2018
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H