Kinerja Infrastruktur
World Bank baru saja menerbitkan Logistic Performance Index (LPI) Report 2018 yang menggambarkan indikator logistik dan pencapaian sektor infrastruktur pada tiap negara termasuk Indonesia.
Kinerja logistik Indonesia, yang merupakan gabungan dari infrastruktur, custom (kepabeanan), time & tracking (waktu penanganan dan penelusuran), international shipment (pengapalan internasional) diberikan pada Peraga-1.
Skor LPI Indonesia meningkat dan mencapai angka 3.15, berada pada peringkat 46.Â
Untuk infrastruktur pencapaiannya diberikan pada Peraga-2 beserta pembandingnya.
Skor infrastruktur Indonesia meningkat hingga 0.25 atau 25 basis point. Jika dicermati skornya, hanya Vietnam dan Indonesia yang meningkat cukup besar, Thailand mengalami peningkatan kecil; sedangkan Brazil, India, Malaysia, dan Turki skornya turun.Â
Gambaran ini menunjukkan pencapaian pembangunan infrastruktur yang telah berlangsung sejak 2015. Salah satu indikasi yang menunjukkan manfaat dari peningkatan infrastruktur adalah penurunan tingkat inflasi seperti pada Peraga-3.
Secara rerata, pada masa 2015 - 2017 tingkat inflasi pada kisaran 3.5%.
Tetapi apakah peningkatan kualitas infrastruktur tersebut akan konsisten pada pengukuran dua tahun mendatang tentunya akan menjadi tantangan tersendiri dalam menghadirkan "Comperative Advatage" terhadap masuknya investasi.
Stimulus, Defisit, dan Utang
Pembangunan infrastruktur merupakan pilihan utama untuk menggerakkan perekonomian; selaras dengan pilihan kebijakan stimulus yang sudah ditetapkan sejak 2015. Defisit anggaran merupakan buah dari pilihan tersebut.Â
Peraga-4 memberikan gambaran besaran defisit dan beban utang.
Defisit anggaran memberikan peningkatan kualitas infrastruktur dan penurunan inflasi, sementara perekonomian tumbuh secara rerata pada tingkatan 5% dan penambahan rasio utang terhadap PDB kurang dari 1.5%.Â
Godaan Subsidi dan Masa Depan
Banyak negara masih memberikan subsidi energi seperti diberikan pada Peraga-5.
Dari daftar negara yang masih memberikan subsidi pada peraga di atas, beberapa negara yang kaya dengan sumber daya alam seperti Venezuela, Nigeria, Irak justru mengalami tekanan perekonomian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subsidi bukan faktor untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.
Sementara sejak penghujung 2014, kebijakan subsidi energi di Indonesia yang mencakup listrik, gas, dan BBM (Bahan Bakar Minyak) mulai dieliminasi dan dikurangi secara bertahap. Peraga-6 memberikan gambarannya.
Berdasarkan tarif listrik bersubsidi yang berlaku untuk golongan 450 VA dan 900 VA, jumlah pelanggannya diberikan pada Peraga-7.
Dari grafik di atas, jumlah pengguna listrik dengan tarif subsidi sebesar 27.3 juta; seakan menunjukkan jumlah keluarga tidak mampu yang layak menerima bantuan.
Sementara dari Program Keluarga Harapan (PKH), Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang mendapatkan bantuan langsung jumlahnya sekitar 10 juta. Dengan sinkronisasi dan kolaborasi program, subsidi energi yang berkaitan dengan tarif listrik serta gas dimasukkan dalam PKH dan hanya diberikan kepada KPM; model yang serupa juga diberlakukan pada BBM untuk menghilangkan subsidi.
Subsidi energi yang mencakup listrik dan bahan bakar sudah berlangsung lama dan memanjakan masyarakat. Sudah selayaknya subsidi diakhiri tanpa menghilangkan diskreasi negara memberikan bantuan. Dengan eliminasi, dana subsidi dapat dialihkan untuk peningkatan dan penguatan infrastruktur.Â
Dalam wawasan Tatapan Masa Depan (Foresight), layak untuk mengingat kembali akan peribahasa : "Berakit ke hulu berenang ke tepian; Bersakit dahulu bersenang dalam kemakmuran dan kesejahteraan kemudian".
Arnold Mamesah - 28 Juli 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H