Seiring dengan kondisi "New Normal" tersebut, tren pertumbuhan perdagangan global turun dan secara rerata berada di bawah pertumbuhan ekonomi dunia. Aliran penanaman modal dari negara maju ke Emerging Markets & Developing Economies juga turun dan lebih besar ke negara maju dengan pertimbangan resiko serta stabilitas negara tujuan investasi. Upaya stimulus moneter yang telah berlangsung pasca Krisis Finansial 2008 tidak berhasil mengangkat pertumbuhan ekonomi, sementara stimulus fiskal masih terbelenggu dengan beban utang terdahulu. Dalam kondisi global yang sarat dengan ketidakpastian serta ancaman munculnya kejadian "Black Swan", mendongkrak pertumbuhan melalui investasi, dan pembangunan infrastruktur merupakan pilihan utama.
Narasi dan pertumbuhan
Narasi secara sederhana dapat dipahami sebagai cerita yang menyajikan serangkaian peristiwa dan kejadian yang disusun secara kronologis sesuai dengan urutan waktunya. Penggunaan teknik narasi, berdasarkan kajian dan secara berurutan digunakan dalam sejarah, antropologi, ilmu sosial, politik, psikologi, ekonomi (lihat peraga di bawah ini).
Untuk menjelaskan rangkaian cerita seputar Krismon 1998 akan lebih mudah dengan narasi yang dikaitkan dengan kejadian di negara lain serta beberapa gejala pendahulunya (lihat artikel: "Kehati-hatian Kini Merupakan Kepandiran Saat Krisis Menerpa"). Tetapi bagaimana menyusun narasi untuk memprakirakan kondisi yang akan datang terutama yang berhubungan dengan pertumbuhan perekonomian Indonesia?Â
Jika mengabaikan kondisi "New Normal", siklus perekonomian dengan rentetan Puncak (Peak), Penurunan, Palung (Trough), dan Pemulihan akan menjadi pilihan dan referensi utama, dengan kombinasi serta bumbu kejadian "boom and burst" pada pasar saham dan pasar keuangan yang sarat dengan sentimen serta spekulasi. Dengan merujuk pertumbuhan pada tiga tahun terakhir (2015-2017) pada kisaran 5.0% - 5.1%, merupakan indikasi bahwa perlu terobosan kebijakan untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi.
Berharap pada sektor perdagangan global sebagai pendongkrak pertumbuhan tentu sangat naif karena trennya sedang turun. Sementara dorongan dari konsumsi masyarakat juga sulit diharapkan karena tren daya beli cenderung turun. Berharap investasi asing datang akan sangat terbatas dan kondisi serupa juga jika menggantungkan harapan pada investasi dari sumber domestik. Sehingga pilihan yang tersisa adalah investasi pemerintah dalam infrastruktur dengan syarat berani untuk menanggung defisit serta penambahan utang.
Tetapi bagaimana dengan risiko dan ancamannya? Dalam hal pembangunan infrastruktur secara masif pasca Great Depression dan peperangan besar, pengalaman US, Jerman pasca Great Depression 1929, dan negara-negara Eropa Barat pasca Perang Dunia II dapat menjadi contoh dengan meningkatkan defisit anggaran; selayaknya model ini menjadi rujukan bagi Indonesia.
Jika skenario pembangunan infrastruktur dilakukan dengan peningkatan defisit anggaran yang agresif walaupun berdampak peningkatan utang namun terkendali, maka selayaknya Presiden Jokowi diberikan sinyal kartu kuning yang bermakna sinar matahari semakin cerah dan membawa harapan dalam pertumbuhan perekonomian masa mendatang.
Arnold Mamesah - 5 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H