Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kolaborasi Demi Keberhasilan Inovasi dan Kreativitas

17 September 2017   02:20 Diperbarui: 18 September 2017   09:46 2195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paradoks Inovasi - Regulasi

Sejalan dengan perkembangan pesat dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), berbagai inovasi muncul dengan utilisasi atau pemanfaatan TIK secara efisien untuk mendapatkan hasil dan manfaat yang optimal. Karsa dan kekuatan dalam semangat serta daya cipta atau kreativitas untuk menghadirkan sesuatu yang baru; tidak hanya memberikan kepuasan. Tetapi akan memacu pihak lain untuk tidak ketinggalan dalam berkarya sehingga menghadirkan iklim persaingan dalam bingkai biaya, kualitas, dan waktu (CQD : Cost, Quality, Delivery Time).

Berbagai bentuk inovasi berbasis kreativitas dengan memanfaatkan TIK hadir ibarat gelora dan limpahan banjir yang melanda berbagai sektor industri yang saat ini kental dengan sebutan Disrupsi Inovasi (DI). Kemunculannya menimbulkan usikan dan bahkan cenderung mengganggu "kenyamanan" pemain lama; tetapi pada sisi lain memberikan godaan serta pilihan bagi konsumen serta masyarakat. Dalam kehebohan dan eforia Disrupsi Inovasi, muncul pertanyaan tentang keberadaan regulasi; yang merupakan peran pemerintah, dalam menata dan mengatur serta memberikan nuansa "fairness" terhadap persaingan serta keberlanjutan usaha.

Agar mendapatkan gambaran, praktek kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan keuangan berikut ini merupakan contoh bahwa suatu produk dan layanan dapat berlangsung tanpa kehadiran regulasi secara utuh dan lengkap. Pertama adalah penggunaan ATM (Anjungan Tunai Mandiri) yang telah hadir sekitar 30 (tiga puluh) tahun lalu di Indonesia, persisnya di pulau Dewata. Kegiatan serah terima uang tunai melalui ATM tanpa disertai tanda bukti yang dibubuhi tanda-tangan, namun hanya sehelai kertas cetakan; baru sekitar 10 tahun kemudian regulasi hadir. Contoh kedua pada pengisian (Top Up) pulsa telepon seluler (ponsel). Sejak sekitar 12 tahun lalu isi pulsa elektronik mulai berlangsung dengan pelaku pada barisan depan adalah para pedagang kaki lima (PKL). Fenomena ini lantas menjamur dan mempercepat pertumbuhan pelanggan serta penggunaan komunikasi seluler prabayar. Transaksi pulsa elektronik ini berlangsung tanpa kehadiran regulasi. Demikian juga pada sekitar sepuluh tahun lalu muncul uang plastik (plastic money) yang dapat digunakan dalam berbagai transaksi termasuk untuk pembayaran jalan tol; regulasi baru muncul kemudian. Inisiatif penggunaan non tunai (cashless) dimulai Bank Indonesia pada 2012 dan secara nasional GNNT (Gerakan Nasional Non Tunai) mulai dicanangkan pada 14 Agustus 2014. Sekedar tambahan yang lebih konvensional, transaksi kredit barang di kampung-kampung melalui tukang kredit yang berkeliling, sudah berlangsung puluhan tahun tanpa regulasi.

Dari ilustrasi dan contoh transaksi ekonomi tanpa regulasi, apakah lantas disebut sebagai "underground economy"? Tanpa disadari, antar pihak yang terlibat sudah hadir dan terbangun "rasa saling percaya" yang mendukung pelaksanaan transaksi; walaupun kendali dan pemantauan cenderung lemah. Dalam situasi demikian, fungsi pajak tidak akan dapat menjangkau secara penuh dan implikasinya transaksi berlangsung tanpa pengenaan pajak; penerimaan pajak tidak bertambah walaupun transaksi ekonomi naik. Demikianlah, tanggul dan saluran penangkal serta pengendali baru akan muncul dan disiapkan setelah banjir melanda. Banjir inovasi dan kreativitas tetap bergelora tanpa atau dengan kehadiran "pengendali serta penangkal" atau regulasi.

Bingkai Kolaborasi

Dalam satu sesi "Talk Show Kafe BCA VII" yang diselenggarakan Bank Central Asia (BCA) pada Rabu, 13 September 2017, dengan pengantar yang disampaikan Direktur BCA Henry Koenaifi, menghadirkan pembicara Pengamat Ekonomi Faisal Basri, Pelaku Start Up Indra Wiralaksmana (Country Head & Director Ninja Xpress) dan Rama Mamuaya (Founder & CEO DailySocial.id) serta Senior Executive Vice President of Strategic Information Technology BCA Hermawan Thendean.

Sesi Interaktif - Kafe BCA VII - sumber : BCA
Sesi Interaktif - Kafe BCA VII - sumber : BCA
Dalam posisinya sebagai bank swasta papan atas di Indonesia, BCA sangat memahami bahwa inovasi dan kreativitas merupakan tulang punggung dalam mendirikan usaha berbasis digital. Selanjutnya, seperti yang disampaikan Direktur BCA, setiap orang bisa saja menjadi pelaku usaha rintisan berbasis digital, dengan mengandalkan kemudahan dan kemutakhiran perkembangan teknologi saat ini. Namun, tidak semua memiliki ide bisnis yang dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat dan memberikan keuntungan ekonomis untuk kesinambungan usaha.

BCA juga tetap mencermati perkembangan usaha rintisan yang berkembang pesat dan BCA berharap agar setiap orang yang memiliki ide, inisiatif, inovasi, dan kreativitas dapat memanfaatkan perkembangan teknologi saat ini untuk menjadi entrepreneur. Dalam pemahaman demikian, BCA akan menggelar IKF VI (Indonesia Knowledge Forum VI) pada 3-4 Oktober 2017; sebagai ajang bagi korporasi dan usaha rintisan atau startup untuk mengembangkan bisnis mereka melalui kolaborasi dan kemitraan (partnership) di bidang teknologi,". 

Dari sisi perbankan, BCA juga senantiasa melakukan berbagai inovasi dalam rangka meluncurkan berbagai solusi dan layanan perbankan berbasis digital yang memberikan kemudahan pelayanan dan transaksi kepada nasabah. Hal ini dilakukan semata-mata karena prioritas BCA adalah memberikan pelayanan terbaik kepada nasabah, sesuai dengan perkembangan saat ini. Era makin berubah ke arah digital, dan BCA perlu dan harus siap menjemput perubahan ini dengan mengeluarkan berbagai produk layanan berbasis teknologi yang memungkinkan nasabah menggunakannya secara aman dan nyaman.

Dari perspektif Teknologi Informasi dan Komunikasi, Hermawan Thendean mengatakan, pesatnya pertumbuhan pelaku financial technology (fintech) ataupun e-commerce telah memunculkan kebutuhan masyarakat terhadap layanan informasi dan transaksi keuangan perbankan. Sebagai contoh dalam praktiknya, pelaku fintechataupun e-commerce membutuhkan konektivitas sistem yang solid dengan dunia perbankan agar transaksi pembayaran pengguna aplikasi atau situs mereka dapat berjalan dengan lancar. Dari sisi pembiayaan, BCA juga telah meluncurkan Central Capital Ventura (CCV). Lewat modal ventura tersebut, BCA akan menginvestasikan dana Rp200 miliar untuk para startup fintech yang diharapkan bisa membantu layanan finansial mereka.

Mencermati langkah BCA dalam mengantisipasi transformasi dan perkembangan sektor keuangan dengan menghadirkan kolaborasi dan menggandeng para pelaku usaha rintisan untuk memperkuat layanan BCA, merupakan langkah inklusi cerdas dan efisien dalam percepatan pengembangan produk serta layanan. Berinvestasi dana dalam jumlah yang cukup besar untuk usaha rintisan, merupakan wujud dari upaya inkubasi pada usaha rintisan agar mencapai tingkat kestabilan dan kemapanan usaha. Dengan langkah-langkah tersebut BCA telah melakukan integrasi upaya dan kemampuan dari berbagai sumber untuk mampu menjawab tantangan dalam kebutuhan pasar sektor finansial. Dari sudut pandang korporasi, rencana dan langkah BCA sangat stratejik dalam mengantisipasi transformasi sektor keuangan termasuk kehadiran berbagai produk dan layanan FinTeh. Dibandingkan dengan pemain lain di sektor keuangan dan perbankan, BCA sudah selangkah di muka.

Ekonomi Digital dan Infrastruktur

Dari sudut pandang perekonomian, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan Ekonomi Digital, perlu peningkatan partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam keuangan dan akses sumber dana serta perbankan (Financial Inclusion) demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Dari survey World Bank 2014, Financial Inclusion Index (FI Index) Indonesia 36,1 yang maknanya hanya 36,1% dari masyarakat mengakses perbankan dan sumber dana. Bandingkan dengan Singapore (96,4), Malaysia (80,7), Tiongkok (78,9), Thailand (78,1), India (53,1); yang semuanya di atas Indonesia; sementara Filipina, Vietnam, dan Kamboja masih berada di bawah Indonesia.

Dalam menuju perekonomian digital, seperti disampaikan ekonomis Faisal Basri, kondisi dan kesiapan Indonesia berdasarkan World Digital Competitiveness rendah seperti gambaran yang diberikan pada Peraga-1.

Peraga-1 : World Digital Competitiveness Ranking

World Digital Competitiveness Ranking
World Digital Competitiveness Ranking
Indonesia berada pada peringkat 59 dari 63 negara yang disurvey.

Peraga-2 : ICT Index (Information & Communication Technology Index)

ICT Index
ICT Index

Dalam hal indeks Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT Index), peringkat Indonesia di bawah dan mengindikasikan kualitas infrastruktur yang belum memenuhi standar yang berlaku secara global.

Kondisi infrastruktur yang tidak memuaskan, seperti juga regulasi yang belum tersedia, selayaknya tidak menjadi penghambat dan kendala dalam pengembangan inovasi serta kreativitas. Penundaan hanya akan membuat perluasan dan peningkatan akses masyarakat terhadap perbankan dan sumber dana tidak bertumbuh sehingga kembali akan menekan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, dengan perekonomian yang bertumbuh akan berimplikasi pada peningkatan infrastruktur dalam kapasitas dan kualitas. 

Arnold Mamesah - 17 September 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun